Jakarta (ANTARA News) - Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin mengajak para peneliti pendidikan Islam untuk mendaftarkan hak kekayaan intelektualnya atas risetnya.

"Soal HAKI, penelitian genuine ada tapi kesadaran akademisi dalam meregistrasi penelitian itu belum tumbuh sepenuhnya," kata Kamaruddin di Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan Kemenag terus mendorong akademisi pendidikan Islam agar memiliki kesadaran dalam mendaftarkan hak atas kekayaan intelektualnya.

Menurut dia, hingga kini hasil riset kajian soal pendidikan Islam dari para akademisi masih tergolong sangat sedikit. Hal itu ditambah dengan kesadaran yang rendah terhadap HAKI sehingga dikhawatirkan nantinya hasil riset itu tidak dapat dilindungi kepemilikannya.

Di dunia pendidikan Islam, kata dia, sejatinya memiliki khazanah yang bernilai jika terus digali lewat riset. Kementerian Agama saat ini terus berupaya menumbuhkan budaya riset di perguruan tinggi Islam, baik negeri, swasta, termasuk lembaga pendidikan tinggi yang fokus dalam kajian ke-Islaman bidang tertentu.

"Pesantren kita punya karakter berbeda-beda. Ada yang kuat di bidang tertentu, ada yg kuat di bidang turats tapi fokus pada kajian ushul fikih. Ada yang kuat di tasawuf. Kita punya Ma`had Ali, ada 23 yang masing-masing punya kekhasan itu," kata dia.

Terdapat juga, lanjut dia, lembaga pendidikan seperti pondok pesantren yang fokus mendidik di bidang kecakapan hidup, baca kitab kuning dan ilmu umum.

"Kami terus mengembangkan usaha-usaha. Kami berikan kesempatan di situ. Lifeskill jenis apa dengan kontribusinya dalam masyarakat. Itu variasi pesantren kita luar biasa. Pesantren itu tidak ada di mana-mana dan adanya di Indonesia saja," katanya.



Ekspansi Pesantren

Kamaruddin mengatakan kekhasan pondok pesantren memiliki nilai lebih dalam menyemai tumbuhnya nilai Islam sebagai rahmat alam semesta serta moderat. Pesantren sebagai bagian dari pendidikan Islam juga mampu membentengi umat dari tumbuhnya radikalisme dan terorisme.

Nilai-nilai baik dari ponpes itu, kata dia, harus bisa ditularkan ke belahan negara lainnya, seperti negara jiran atau ke dunia bagian lainnya. Secara langsung atau tidak, upaya itu akan turut mempromosikan Islam yang damai ke berbagai penjuru dunia.

"Pesantren dikaji banyak peneliti meski sekadar sebagai pengetahuan. Jadi ekspansi pesantren ke luar negeri itu sangat memungkinkan," kata dia.

Dia mengatakan di tengah maraknya gempuran radikalisme global, masyarakat dunia termasuk Indonesia sangat membutuhkan pemahaman moderat yang memicu perdamaian beragama dalam keragaman.

Menurut dia, Indonesia sudah bisa menjadi panutan dunia dalam menyuguhkan Islam damai yang mampu bersanding dengan demokrasi. Artinya, Islam di Indonesia justru mampu tumbuh tanpa bertentangan dengan perkembangan dunia kekinian.

Indonesia dengan Islamnya, kata dia, nyatanya mampu tumbuh sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India tanpa menghilangkan nilai Islam yang ada.

"Indonesia bisa saja menjadi ultrakonservatif seperti Arab Saudi, sekuler seperti Turki, theokrasi seperti Iran, tapi tidak terjadi karena kita punya benteng pendidikan Islam. Atau juga seperti Afghanistan tapi kita tidak seperti itu karena lembaga pendidikan Islam kita bisa mengajarkan Islam yang kompatibel dengan demokrasi," kata dia.