Jakarta (ANTARA News) - Undang-undang Kepailitan No 37 Tahun 2004 perlu segera dilakukan revisi karena masih menyisakan rasa ketidak adilan bagi ahli waris dari pewaris pemegang jaminan perorangan (personal guarantee) pada perusahaan pailit sesuai dengan Pasal 1826 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).

Ahli waris sebaiknya jangan dibebankan melakukan penyelesaian utang-utangnya yang dilakukan oleh pewaris (debetor), karena hal itu bukan hanya bertentangan dengan norma keadilan hukum, tetapi juga bertentangan Pasal 175 Kompilasi Hukum Islam, oleh karenanya perlu segera direvisi, kata Lenny Nadriayana dalam mempertahankan disertasinya Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjajaran di Bandung Senin.

Disertasi dengan judul "Tanggungjawab Ahli Waris dari Pewaris Pemegang Jaminan Perorangan (Personal Guarantee) Perusahaan yang Pailit di Indonesia", Lenny menegaskan, UU Kepailitan dibuat secara terburu-buru tahun 1998, kemudian dirievisi tahun 2004, namun dalam revisi tersebut masih menyisakan ketidak adilan bagi para ahli waris dari pewaris yang mempunyai utang baik kepada banak atau pihak lain, tetapi dibebankan kepada ahli waris.

"Istri dan anak sebagai pewaris hartanya tidak dapat dijadikan sebagai budel pailit karena tanggungjawab hukum hanya berada pada siapa yang bertindak. Oleh karenanya, hukum sangat tidak adil jika harta para ahli waris dapat disita oleh Pengadilan atas gugatan dari seseorang kreditor," kata Lenny, di hadapan penguji yang diketuai oleh Prof. Dr. Eman Suparman, dan ko.Promotor Dr. Isis Ikhwansyah.

Menurut Lenny, yang juga peneliti Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI), prinssip dalam hukum Islam, tanggungjawab ahli waris terhadap utang pewaris terbatas pada jumlah nilai dari harta pewaris. Dalam hukum adat-pun juga demikian, ahli waris tidak dapat dibebankan sejumlah utang-utang melebihi dari harta yang dimiliki oleh pewaris. "Itu sebanya, pasal 1826 KUHPer Jo Pasal 1 ayat 1 UU Kepailitan dan PKPU perlu segera direvisi karena sudah usang," tegas Lenny.

Penegasan itu mendapat apresiasi dari para penguji sehingga promovendus diberikan nilai sempurna (cumlaode), karena telah memberikan penelitian yang baik dan masalah itu luput dari pengamatan para anggota DPR dan Pemerintah sebagai pembuat UUnya. "Atas komitmen dan pandangan promovendus yang baru, kami para penguji sepakat memberikan nilai cumlaude dengan IPK 4 poin," kata Prof. Dr. Eman Suparman, yang juga mantan Ketua Komisi Yudisial itu.

Dalam sidang terbuka, Lenny uga dapat menjawab berbagai pertannyaan yang disampaikan oponen ahli yakni Prof. Dr. Djaman Wiwoho, yang juga sebagai Inspektur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemenristek, dan mantan Hakim Agung Asep Iwan Iriawan.

"Promovendus sebagai praktisi dan peneliti mampu memberikan jawaban yang baik atas daftar pertanyaan yang disampaikan para opnen ahli," kata Djaman.

Sementara itu. Ketua Asosisi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) Dr. Laksanto Utomo usai menghadiri sidang terbuka mengatakan, dalam praktik peradilan tata niaga, Pasal 1826 BW menjadi dasar yang kuat bagi kreditor untuk memohon pailit terhadap ahli waris dari pewaris pemegang jaminan perorangan (personal guarantee) yang telah melepaskan haknya untuk melunasi utang kepada kreditor.

Seolah ketentuan pasal itu ada dosa warisan yang harus ditebus oleh para ahli waris. "Sangatlah tidak adil jika ahli waris diharuskan membayar utangnya pewaris yang mengalami kepailitan. Apalagi pewarisnya dalam perjanjian utang itu hanya sebagai pemberi garansi yang tidak mengerti akibat hukumnya," kata Laksanto seraya menambahkan, negara perlu segera hadir membuat terobosan aturan karena banyak hakim tataniaga mengabulkan permohonan para kreditor yang menyita harta ahli waris.

Sebagai Ketua APPTHI punya keprihatinan mendalam atas putusan hakim yang mengabaikan nuraninya, karena ada hakim yang mengabulkan gugatan atas permintaan bahwa ahli waris yang baru berusia 4-5 tahun dibebankan harus melunasi utang-utang pewaris, katanya.

Menjawab pertannyaan, Laksanto mengatakan, atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 125 pk/Pdt.Sus-pailit yakni Greenfich Premier adalah Pasal 1820 Jo. Pasal 1826 dan 1832 BW dengan menggunakan pembuktian sederhana. Putusan itu juga menjadi bagian dari penelitihan promovendus dan mungkin juga dapat dieksaminasi oleh para ahli hukum guna memberikan masukan atas perbaikan UU Kepailitan kelak, katanya.