Jakarta (ANTARA News) - Maryati (34), salah satu karyawan pabrik, hilang sejak meledaknya pabrik petasan tempatnya bekerja di kawasan Tangerang pada pagi Kamis (26/10).




Ibunda Maryati, Mini mengatakan pihak keluarga sudah mencari keberadaan Maryati ke berbagai rumah sakit namun hasilnya nihil.




Pada Jumat siang, Mini bersama putra sulung Maryati, ayah dan kerabat lainnya mendatangi posko ante-mortem RS Polri.




Di sanalah lokasi terakhir pencarian atas Maryati meski keluarga sudah tahu betul bahwa ada 47 korban meninggal di RS Polri.




"Waktu ada ledakan (di pabrik petasan), saya langsung ke sana. Polisi bilang jangan ke sana. Tapi saya lihat dari jalanan. Saya langsung hubungin suami Maryati, adiknya yang lagi nyupir saya suruh pulang. Saya cari dia (Maryati) ke rumah sakit tapi enggak ada," tutur Mini kepada ANTARA News di RS Polri, Jakarta, Jumat.




"Ada yang bilang masih hidup. Tapi saya enggak nemuin dari kemarin, jadinya saya baru ke sini (RS Polri) hari ini, padahal bisa kemarin sore," imbuh dia.




Mini dan keluarga tiba di RS Polri sekitar pukul 11.00 WIB sembari menyerahkan data penunjang yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi korban meninggal. Mini bahkan sempat menjalani pemeriksaan DNA.




Uang jajan dan ciuman sebelum pergi




Mini berkisah, Kamis pagi, Maryati berangkat mengenakan kemeja putih, bawahan hitam dan kerudung warna hitam.




Sebelum pergi, dia sempat menitipikan uang Rp10 ribu untuk jajan putranya. "Mak, berangkat ya. Ini uang Rp10 ribu buat jajan Enong (putra bungsu Maryati)," tutur Mini menirukan ucapan anaknya.




Entah mengapa, putra bungsu Maryati saat itu merajuk dan meminta ibudanya mencium pipinya.




"Enong mau cium. Biasanya enggak, salaman aja. Ini minta dicium. Turun dulu ibunya dari motor. Kata Enong, "Hati-hati yah mah. Dadah mamah," tutur Mini.




Mini tak merasakan firasat apapun atas tingkah cucu keduanya itu. Usai Maryati pergi bekerja, dia kembali meneruskan masak di dapur.




Hatinya langsung berkecamuk kala ledakan di pabrik tempat putrinya bekerja, terjadi tiba-tiba.




Dilarang bekerja di pabrik petasan




Maryati baru bekerja dua bulan di pabrik petasan yang terletak kawasan Kompleks Pergudangan 99 Kosambi, Tangerang, Banten. Lokasi itu tak jauh dari kediamannya di Kampung Belimbing, Babakan Asem.




Jarak lokasi yang dekat dari rumah menjadi pertimbangan dia memilih bekerja di pabrik itu.




"Baru dua bulan. Pabrik juga baru dua bulan jalan. Maryati, tadinya kerja di pabrik plastik, pindah ke pabrik kembang api karena dekat rumah, jalan kaki dekat," tutur Mini.




Padahal, sebenarnya pihak keluarga melarang Maryati bekerja di sana, karena alasan keamanan dan upah yang semakin menurun.




"Dilarang kerja di pabrik petasan. Bapaknya ngelarang, suaminya juga. Tapi dia tetep pengen kerja di sana," kata Mini.




Buruh pabrik petasan awalnya mendapat upah Rp55.000 per hari. Namun semakin hari turun menjadi Rp40.000. Belum ditambah lagi dengan target harian yang harus dipenuhi buruh.




"Target 900 pack sehari. Borongan sekarang, dibayarnya jadi mingguan. Belum sempat gajian baru nanti Senin," kara Mini.