D.Dj. Kliwantoro *)
Semarang (ANTARA News) - Penggunaan bahasa Indonesia di media massa tidak sekadar harus komunikatif, tetapi harus juga mampu membangkitkan semangat kebangsaan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Oleh karena itu, bahasa jurnalistik harus tunduk pada kaidah bahasa yang telah dibakukan, baik kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, maupun tanda baca yang telah diatur oleh Pemerintah.
Pemerintah terakhir menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Namun, belum seluruh media massa di Tanah Air mengikuti aturan tersebut, misalnya dalam penggunaan tanda hubung (-) sebagai kata tugas "dan". Padahal, dalam PUEBI, pengganti kata "dan" adalah tanda garis miring (/). Tanda ini juga sebagai pengganti kata "atau" dan "setiap".
Contoh pemakainnya adalah penulisan "Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno". Penggunaan tanda hubung ini sudah merupakan salah kaprah. Bahkan, kalau menggunakan tanda garis miring (/), kemungkinan ada yang menganggap aneh.
Begitu pula, tanda hubung yang merangkai huruf dan angka, misalnya Diploma 1 (D-1), Diploma 2 (D-2), dan Strata 1 (S-1). Sering kali media menulisnya tanpa tanda hubung (D1, D2, dan S1).
Dalam PUEBI disebutkan bahwa tanda hubung tidak dipakai di antara huruf dan angka jika angka tersebut melambangkan jumlah huruf. Misalnya, BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) dan P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan).
Begitu pula, penggunaan tanda koma (,). Ada yang yang beranggapan dalam kalimat tidak langsung tidak perlu konjungtor "bahwa" atau menggantinya dengan tanda koma. Padahal, di antara predikat dan objek tidak boleh ada koma, kecuali tanda koma yang mengapit keterangan yang berupa anak kalimat atau tanda koma yang memisahkan kutipan langsung dan predikat induk kalimat.
Vide contoh kalimat tidak langsung di bawah ini: " Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. mengatakan bahwa sesama politikus tidak perlu saling menjatuhkan ketika melakukan komunikasi politik."
Contoh tanda koma tetap dipakai untuk mengapit keterangan tambahan.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. mengatakan, ketika menjawab pertanyaan wartawan, bahwa Pemerintah perlu menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait dengan larangan politikus mengelola media dalam Undang-Undang tentang Penyiaran.
Dalam PUEBI disebutkan bahwa tanda petik dipakai untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan naskah, atau bahan tertulis lain.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. mengatakan, "Sesama politikus tidak perlu saling menjatuhkan ketika melakukan komunikasi politik."
Tanda koma setelah konjungtor antarkalimat ada pula yang meniadakannya. Sesuai dengan kaidah tanda baca, tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan peng-hubung antarkalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan demikian, sehubungan dengan itu, dan meskipun demikian.
Selain tanda koma, tanda titik (.) juga perlu diperhatikan oleh insan pers, terutama singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat. Misalnya, Toegiran S.H. dan Toegiran, S.H. Contoh pertama merupakan singkatan nama dari Toegiran Sastro Hardjo, sedangkan contoh kedua singkatan gelar Toegiran Sarjana Hukum.
Vide Kamus
Bahasa jurnalistik juga harus menggunakan kata atau istilah yang sama maknanya dengan yang ditetapkan di dalam kamus, termasuk cara penulisannya.
Jurnalis sebaiknya mengacu pada kamus terbaru atau klik kbbi.kemdikbud.go.id. Laman ini dikelola oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kenapa terbaru? Karena terjadi perubahan dalam penulisan sublema. Misalnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan (KBBI Daring) kata dasar "sosialisasi" setelah mendapat awalan menjadi "menyosialisasikan". Sebelumnya, dalam KBBI Edisi III penulisannya "mensosialisasikan". Kata dasar lainnya yang penulisannya tidak sama, yakni "menyinergikan". Semula, dalam KBBI Edisi III "mengnyinergikan".
Namun, dalam kamus terbaru itu masih ada kata dasar sama ketika mendapat awalan "me-" penulisannya berbeda. Ada yang luluh ketika kata dasar yang huruf awalnya k, p, t, dan s bertemu dengan imbuhan "me-". Ada pula yang tidak lebur. Misalnya, kata dasar "kaji". Ketika bermakna membaca Alquran penulisannya "mengaji". Namun, tidak luluh jika artinya mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan (mempertimbangkan dan sebagainya), menguji, atau menelaah. Penulisan sublema ini "mengkaji".
Seiring dengan perkembangan zaman, apabila masyarakat sudah terbiasa menggunakan sublema "mendaras" (membaca), kemungkinan penerapan kaidah k, p, t, s berlaku pada semua kata dasar yang mendapat prefiks "me-".
Ungkapan lain yang penulisannya berubah, yakni "insyaallah". Dalam KBBI Edisi IV, ungkapan yang digunakan untuk menyatakan harapan atau janji yang belum dipenuhi (maknanya jika Allah mengizinkan) penulisannya "insya Allah".
Dalam KBBI Daring, terdapat pula lema "ngabuburit". Sebelumnya, pengguna bahasa Indonesia sering kali menggunakan kata serapan dari bahasa Sunda itu. Bahkan, sekarang ini jika kita mencari melalui mesin pencari Google, lema tersebut tercatat 3.150.000. Begitu pula, istilah dari bahasa Inggris "fashion" menjadi "fesyen". Kata bermakna "mode" ini digunakan hingga 8.700.000.
Namun, ada pula kata yang sering digunakan, misalnya, "milenial" (2.630.000 kata) dan "unregistrasi" (1.790.000) belum ada di dalam KBBI Daring. Khusus "unregistrasi", sebaiknya penulisannya tetap menggunakan bahasa Inggris (unregistration) karena imbuhan "un-" belum diatur dalam PUEBI. Imbuhan yang diserap dari unsur asing, baru "-isme", "-man", "-wan", dan "-wi".
Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia dengan mematuhi kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, dan tanda baca yang telah diatur oleh Pemerintah demi keutuhan NKRI, perlu mendapat perhatian dari anak bangsa sendiri.
*) Penulis adalah Redaktur Senior Perum LKBN Antara
Bahasa Indonesia jurnalistik tidak sekadar komunikatif
27 Oktober 2017 12:55 WIB
Mural bahasa di kawasan Rawamangun, Jakarta, Minggu (25/10/2017). (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017
Tags: