Kinerja energi Jokowi-JK dinilai di jalur yang tepat
23 Oktober 2017 17:19 WIB
Distribusi BBM Satu Harga Kalbar Petugas mengisi mobil tangki di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina di Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu (14/10/2017). TBBM Pontianak mendistribusikan sebanyak 2.578 Kilo Liter bahan bakar minyak ke seluruh wilayah Kalimantan Barat, serta dua titik khusus penerapan program BBM Satu Harga di Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas dan Kecamatan Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang, guna mendukung program pemerintah dalam pemerataan energi. (ANTARA /Puspa Perwitasari)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai kinerja sektor energi dan tambang, selama tiga tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK), sudah berada di jalur yang tepat.
"Kendati belum semua target tercapai, namun kebijakan dan langkah dalam pencapaiannya sudah pada jalur yang tepat," katanya di Jakarta, Senin.
Ia menilai kinerja Pemerintahan Jokowi-JK di berbagai bidang sudah cukup baik dan signifikan, termasuk capaian energi.
Menurut dia, kebijakan energi Pemerintahan Jokowi-JK yang berdampak positif antara lain pengalihan subsidi BBM dari konsumtif ke sektor produktif, dengan mencabut subsidi premium dan mengurangi subsidi solar.
"Pengurangan beban subsidi melalui kenaikan harga BBM sudah sesuai visi dan misi Jokowi-JK yang dijanjikan," katanya
Selama masa kampanye Pemilihan Presiden 2014 silam, Jokowi-JK berjanji akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun.
Pengurangan subsidi itu dilakukan dengan mengalihkan subsidi untuk konsumsi dialihkan pada kegiatan produktif, terutama untuk pembangunan infrastruktur.
"Pada 2014, pemerintah masih memberikan subsidi 46,79 juta kiloliter BBM, lalu turun drastis menjadi 7,15 juta kiloliter pada semester pertama 2017 dan diperkirakan hanya belasan juta kiloliter hingga akhir 2017," katanya.
Demikian juga, lanjut Fahmy, kebijakan BBM satu harga di seluruh Indonesia, tidak hanya menciptakan keadilan, tetapi juga memberikan dampak berantai yang positif di daerah Indonesia bagian timur.
Hingga akhir September 2017, penerapan kebijakan BBM satu harga sudan mencapai 59 dari 157 lokasi yang ditargetkan pada 2019.
Selain itu, untuk meningkatkan kemandirian energi, Pemerintahan Jokowi-JK mengambil alih beberapa blok migas, yang kontraknya sudah berakhir, dari kontraktor asing ke PT Pertamina.
"Salah satunya Blok Mahakam. Pengalihan pengelolaan Mahakam dari Total E&P Indonesie ke Pertamina akan menjadi preseden baik bagi negeri ini," ujarnya.
Selanjutnya, upaya Pemerintahan Jokowi-JK merevisi kontrak PT Freeport Indonesia, menurut Fahmy, merupakan capaian kinerja yang positif.
Perubahan kontrak karya (KK) Freeport menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), pembangunan smelter, divestasi 51 persen saham, dan rezim pajak merupakan wujud nyata pencapaian kinerja Pemerintahan Jokowi-JK.
Di bidang ketenagalistrikan, ia mengapresiasi program Pemerintahan Jokowi-JK dalam hal percepatan penyediaan listrik bagi 2.500 desa yang belum berlistrik.
"Prioritas elektrifikasi pedesaan ini menunjukkan komitmen pemerintah pada rakyat kecil," katanya.
Komitmen serupa, lanjutnya, juga ditunjukkan pemerintah dengan tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir 2017 dan tetap memberikan subsidi listrik kepada pelanggan 450 VA dan sebagian pelanggan 900 VA, yang termasuk kategori keluarga miskin dan rentan miskin.
Namun demikian, Fahmy menilai sejumlah hal belum berjalan dengan optimal seperti program 35.000 MW.
"Oleh karena itu, perlu revisi program 35.000 MW agar sesuai kebutuhan," katanya.
Hal lain, tambahnya, adalah rendahnya penerimaan migas yang antara lain disebabkan penurunan harga dan produksi minyak.
"Kendati belum semua target tercapai, namun kebijakan dan langkah dalam pencapaiannya sudah pada jalur yang tepat," katanya di Jakarta, Senin.
Ia menilai kinerja Pemerintahan Jokowi-JK di berbagai bidang sudah cukup baik dan signifikan, termasuk capaian energi.
Menurut dia, kebijakan energi Pemerintahan Jokowi-JK yang berdampak positif antara lain pengalihan subsidi BBM dari konsumtif ke sektor produktif, dengan mencabut subsidi premium dan mengurangi subsidi solar.
"Pengurangan beban subsidi melalui kenaikan harga BBM sudah sesuai visi dan misi Jokowi-JK yang dijanjikan," katanya
Selama masa kampanye Pemilihan Presiden 2014 silam, Jokowi-JK berjanji akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun.
Pengurangan subsidi itu dilakukan dengan mengalihkan subsidi untuk konsumsi dialihkan pada kegiatan produktif, terutama untuk pembangunan infrastruktur.
"Pada 2014, pemerintah masih memberikan subsidi 46,79 juta kiloliter BBM, lalu turun drastis menjadi 7,15 juta kiloliter pada semester pertama 2017 dan diperkirakan hanya belasan juta kiloliter hingga akhir 2017," katanya.
Demikian juga, lanjut Fahmy, kebijakan BBM satu harga di seluruh Indonesia, tidak hanya menciptakan keadilan, tetapi juga memberikan dampak berantai yang positif di daerah Indonesia bagian timur.
Hingga akhir September 2017, penerapan kebijakan BBM satu harga sudan mencapai 59 dari 157 lokasi yang ditargetkan pada 2019.
Selain itu, untuk meningkatkan kemandirian energi, Pemerintahan Jokowi-JK mengambil alih beberapa blok migas, yang kontraknya sudah berakhir, dari kontraktor asing ke PT Pertamina.
"Salah satunya Blok Mahakam. Pengalihan pengelolaan Mahakam dari Total E&P Indonesie ke Pertamina akan menjadi preseden baik bagi negeri ini," ujarnya.
Selanjutnya, upaya Pemerintahan Jokowi-JK merevisi kontrak PT Freeport Indonesia, menurut Fahmy, merupakan capaian kinerja yang positif.
Perubahan kontrak karya (KK) Freeport menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), pembangunan smelter, divestasi 51 persen saham, dan rezim pajak merupakan wujud nyata pencapaian kinerja Pemerintahan Jokowi-JK.
Di bidang ketenagalistrikan, ia mengapresiasi program Pemerintahan Jokowi-JK dalam hal percepatan penyediaan listrik bagi 2.500 desa yang belum berlistrik.
"Prioritas elektrifikasi pedesaan ini menunjukkan komitmen pemerintah pada rakyat kecil," katanya.
Komitmen serupa, lanjutnya, juga ditunjukkan pemerintah dengan tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir 2017 dan tetap memberikan subsidi listrik kepada pelanggan 450 VA dan sebagian pelanggan 900 VA, yang termasuk kategori keluarga miskin dan rentan miskin.
Namun demikian, Fahmy menilai sejumlah hal belum berjalan dengan optimal seperti program 35.000 MW.
"Oleh karena itu, perlu revisi program 35.000 MW agar sesuai kebutuhan," katanya.
Hal lain, tambahnya, adalah rendahnya penerimaan migas yang antara lain disebabkan penurunan harga dan produksi minyak.
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017
Tags: