Jambi (ANTARA News) - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi menyatakan dengan berkurangnya kawasan habitat satwa berpotensi menambah kasus konflik antarmanusia-satwa di daerah itu.

Koordinator Penanganan Konflik Manusia dengan Satwa pada BKSDA Provinsi Jambi, Sahron di Jambi, Kamis, mengatakan sepanjang tahun 2017 ini tercatat ada delapan kasus konflik satwa dan manusia bahkan menyebabkan korban jiwa.

"Dari delapan konflik tersebut melibatkan satwa seperti harimau, gajah, beruang dan buaya," kata Sahron.

Dijelaskannya, banyak faktor penyebab terjadinya konflik satwa dan manusia tersebut. Seperti ada satwa yang teluka, kerusakan alam, rusaknya habitat satwa dan faktor lainnya.

"Banyak penyebab seperti satwa terluka kena jerat yang mengakibatkan cacat pada kaki sehingga sulit mencari makan dan akhirnya ke perkampungan. Selain itu banyak habitatnya yang rusak karena dibuka menjadi lahan perkebunan sehingga satwa tidak bisa hidup pada habitatnya," katanya menjelaskan.

Konflik satwa dan manusia ini kata Sahron banyak terjadi di daerah Kabupaten Kerinci, Merangin, Tebo, Tanjungjabung Barat dan Tanjungjabung Timur.

"Namun daerah yang rawan terjadi yakni di Kabupaten Tanjungjabung Barat dan Timur. Di daerah itu kasus yang banyak terjadi yakni konflik buaya dan manusia serta beruang dan manusia," katanya lagi.

Menurutnya konflik satwa dan manusia ini diproyeksikan akan terus meningkat karena tiap tahun habitatnya semakin berkurang dan kehidupan satwa pun semakin terganggu.

Sahron mengungkapkan banyak upaya yang dilakukan BKSDA untuk menanggulangi ataupun mencegah terjadinya konflik satwa dan manusia itu. Seperti memberikan sosialisasi kepada masyarakat dan melakukan patroli rutin serta penanggulangan lainnya.

"Karena BKSDA Jambi tugasnya hanya ada dikawasan konservasi sedangkan sebagian besar konflik berada di luar kawasan konservasi. Jadi BKSDA memberikan sosialisasi kepada masyarakat yang hidup di sekitar hutan serta patroli rutin terhadap pemasangan jerat," katanya menambahkan.