Berlin (ANTARA News) - "Maaf, hanya saya yang boleh pegang," kata Dr. Thoralf Hanstein kepada pengunjung Perpustakaan Negara Jerman Staatsbibliothek zu Berlin yang hendak menyentuh lembaran naskah kuno asal Indonesia.

Spesialis Subjek untuk Studi Bahasa Arab dan Islam Departemen Naskah Oriental di Perpustakaan Negara Jerman Staatsbibliothek zu Berlin itu kemudian dengan cermat menyisir kumpulan naskah dan membawanya ke bantalan naskah khusus yang terbuat dari busa lembut. Lembar demi lembar dia buka perlahan, penuh kehati-hatian.

"Kalau di Indonesia pegangnya harus pakai sarung tangan karena cuaca sangat lembab yang dapat memicu tangan menjadi berkeringat, karena ini di Jerman dan cenderung kering, saya tidak perlu pakai sarung tangan," ujarnya.

Ada sekitar 700 naskah kuno asal Indonesia di antara 80.000 koleksi naskah kuno oriental di Perpustakaan Nasional Jerman Staatsbibliothek zu Berlin.

Hanstein menjelaskan bahwa kebanyakan naskah yang dikumpulkan dari Indonesia berasal dari abad ke-18. Di antaranya ada naskah Alquran tertua dan naskah majmuah.


'

Ia antara lain menunjukkan naskah majmuah atau kumpulan banyak teks berbahasa Jawa yang ditulis menggunakan aksara Arab atau Pegon. Dalam naskah tentang Islam di Jawa itu ada satu gambar binatang menyerupai singa.

"Ini Buraq, kendaraan Nabi. Yang menarik nampaknya keturunan China yang punya ini, terlihat dari matanya," kata pakar yang fasih berbahasa Indonesia itu.

Naskah-naskah kuno yang sangat sulit didapat itu disimpan di ruangan yang suhunya diatur sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan kerusakan naskah. Dan tidak semua orang bisa menyentuh naskah atau manuskrip kuno di sana.

Dari 700 naskah kuno asal Indonesia di perpustakaan itu, menurut Hanstein, baru 130 di antaranya yang sudah didigitalisasi.


Bhineka Tunggal Ika

Staatsbibliothek zu Berlin juga menyimpan bagian dari Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, naskah berbahasa Jawa yang ditulis menggunakan Aksara Bali pada daun lontar.

"Bhineka Tunggal Ika ada di dalamnya, teks aslinya di naskah ini," kata Hanstein tentang naskah yang disimpan dalam tempat khusus yang terbuat dari kayu berukir itu.





Ia juga menunjukkan naskah berbahasa Melayu yang ditulis dengan Aksara Arab dan mengatakan bahwa perpustakaan juga menyimpan 69 naskah berbahasa Batak.

Naskah dari Jawa sebagian berisi masalah mistis dan Islam, sedang naskah Batak antara lain berisi petunjuk hari baik untuk pernikahan.

"Mereka mengambil ayam dan potongan ayam digoreskan di sini, kemudian akan ada petunjuk hari baik dan tidak menurut kepercayaan mereka," ujarnya.

Ada pula naskah berbahasa Ternate dengan Aksara Arab dengan cap dari lilin yang berisi undian bagi imam yang akan memimpin salat.

"Jadi, ketika itu siapa yang menjadi imam itu diundi," kata pria yang pernah belajar di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.

Ia menjelaskan pula bahwa dalam dunia manuskrip tidak ada naskah yang benar-benar asli. Naskah dianggap benar-benar asli apabila penulisnya masih hidup.





Ratusan tahun lalu, menurut dia, sebagian besar penulis naskah berasal dari kalangan sufi atau yang sederajat, yang biasanya mendiktekan apa yang akan ditulis kepada murid yang akan mencatat, memperbanyak dan menyebarkannya.

Ada satu naskah yang ditulis pada abad ke-19 yang merupakan catatan pidato acara semacam pesta atau hajatan yang dipinjamkan ke orang-orang yang datang.

"Bisa dilihat di sini, orang-orang memegang buku ini dengan tangan penuh sate dengan saus kacang tanah, kotor sekali, penuh dengan lemak dan rusak pojoknya," tutur dia.

Naskah kuno tertua asal Indonesia yang dimiliki oleh Perpustakaan Negara Jerman Staatsbibliothek zu Berlin adalah naskah yang berasal dari abad ke-15. Naskah itu ditulis di kulit pohon gebang dan isinya 70 lembar.

"Antara tahun 1467 atau 1407, umurnya kedua tertua untuk naskah kuno Indonesia, yang pertama itu ada di Perpustakaan Nasional (Jakarta)," katanya.


Dilindungi Negara

Hanstein mengatakan naskah-naskah kuno Indonesia yang terkumpul di Jerman kebanyakan berasal dari jual beli dan barter atau tukar-menukar.

"Kami tidak punya daerah jajahan, seperti Prancis atau Inggris yang punya banyak harta rampasan, termasuk naskah," ujarnya.

Namun sejak pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, jual beli naskah kuno dilarang.

"Jadi, kami kalau mau dapat harus cari di pasar Eropa," katanya.





Pengajar sekaligus penulis Nur Hidayati mengatakan ketika masa penjajahan naskah kuno itu banyak dan tersebar, namun kemudian sebagian dijadikan rampasan perang.

Hidayati, yang sedang meneliti naskah kuno untuk tesis dengan judul "Interpretasi Drewes atas Manuskrip Bonang dalam The Admonitios of Seh Bri", menuturkan bahwa manuskrip-manuskrip yang tidak ditemukan di perpustakaan nasional Indonesia, justru banyak ditemukan di negara Eropa seperti di Univeristas Leiden, Belanda.


Di Mesin Telegraf Pertama

Tulisan berbahasa Indonesia juga bukan hanya ditemukan dalam naskah kuno, tetapi juga di mesin telegraf elektrik pertama di dunia yang ada di kota kecil Gottingen, Jerman.

Pesan berbahasa Indonesia di mesin telegraf elektrik itu berbunyi "Mengapa tidak segera menghubungi rumah dan ceritakan bahwa kamu tepat berada di satu tempat di Gottingen di mana tele komunikasi elektromagnetik pertama kali bekerja di tahun 1833. Dan ceritakan juga bahwa kamu baru saja mencoba dan mengalami bagaimana sulitnya di jaman itu".

Hanya ada dua simbol untuk mengirim pesan di mesin telegram itu, yaitu simbol plus (+) dan minus (-).

Terdapat petunjuk untuk mengirimkan pesan di mesin tersebut, yaitu dengan membuat kombinasi kedua simbol yang sudah diatur untuk huruf alfabet.

Nati Sajidah, seorang pengunjung, takjub melihat Bahasa Indonesia di mesin telegraf elektronik pertama di dunia, bersanding dengan bahasa-bahasa lainnya, seperti Bahasa Arab, Jepang, Jerman, Prancis dan lainnya.

"Setahu saya Gottingen itu adalah kota yang paling banyak meraih nobel di Jerman, artinya kota Gottingen sangat berpendidikan. Jadi, Indonesia punya posisi di mata orang yang berpendidikan," ujar praktisi pendidikan dan penulis itu.