Jakarta (ANTARA News) - Staf Ahli Menteri Koordinator Kemaritiman Bidang Sosioantropologi Tukul Rameyo Adi mengatakan Indonesia berpotensi untuk mengembangkan karbon biru untuk mengurangi emisi karbon karena memiliki ekosistem mangrove, padang lamun dan rawa pasang surut.

"Pemerintah berharap studi tentang karbon biru dapat memperkaya data ilmiah dalam mengembangkan kebijakan tentang karbon biru di Indonesia," kata Rameyo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa.

Dalam waktu dekat, Kemenko Kemaritiman akan mengadakan lokakarya tentang karbon biru di Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Rameyo berharap lokakarya itu dapat menghasilkan kebijakan yang mengembangkan instrumen terkait karbon biru untuk tingkat nasional maupun internasional.

Selain itu, Rameyo juga berharap lokakarya itu dapat menghasilkan sebuah peta jalan tentang karbon biru yang dapat diterapkan secara nasional maupun lokal.

"Pengembangan instrumen dan peta jalan tersebut merupakan bentuk dukungan bagi upaya mencapai komitmen nasional pengurangan emisi sebesar 29 persen hingga 2030 dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan," tuturnya.

Karbon biru telah digaungkan sebagai salah satu kontribusi bagi target pengurangan emisi karbon dunia dalam Konferensi Para Pihak Perubahan Iklim PBB (COP) ke-22 di Maroko pada 2012.

Setidaknya, ada 151 negara yang memiliki satu dari tiga ekosistem karbon biru, yaitu mangrove, padang lamun dan rawa pasang surut. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ketiga ekosistem tersebut dengan luas mangrove sekitar 3,1 juta hektare atau setara dengan 22 persen ekosistem global.

Di Indonesia, Papua Barat merupakan provinsi dengan ekosistem mangrove terluas alami sebesar 482.029,24 hektare. Penelitian untuk mengkaji serapan karbon di atas dan di bawah permukaan tanah pada Kabupaten Kaimana telah dilakukan sejak 2015.

Total stok karbon di Kabupaten Kaimana yang meliputi Teluk Arguni, Teluk Etna, Buruway dan Kota Kaimana mencapai 54.091.909 Mg C.