Setiap pemimpin politik punya visi tentang keadilan, setidaknya dia paham secara teoritis apa yang disebut dengan tindakan yang adil. Tapi pada tataran praktis, apa yang dipahami itu bisa melenceng karena tantangan yang dihadapinya demikian kompleks.
Kompleksitas yang menyebabkan seorang pemimpin politik tak sanggup mengimplementasikan visinya tentang keadilan antara lain timbul akibat perbenturan berbagai kepentingan yang tak mudah diurai dan didamaikan.
Sang pemimpin paham bahwa kalangan rakyat bawah mesti diberi perhatian lebih untuk menghadapi problem kehidupan yang berhadapan dengan kalangan rakyat di lapisan sosial menengah ke atas.
Alokasi anggaran pun mesti digelontorkan lebih banyak untuk kepentingan masyarakat miskin untuk mengejahwantakan visi keadilan sang pemimpin. Namun, visi yang demikian itu secara riil akan bergeser ketika proses-proses pengambilan keputusan yang melibatkan banyak kelompok kepentingan berlangsung.
Sayangnya, masyarakat bawah yang semestinya menjadi sasaran utama dalam penyelenggaran kebijakan yang adil itu tak punya kekuatan digdaya dalam menyuarakan dirinya. Mereka hanya diwakili oleh kalangan menengah atas, antara lain politisi di parlemen yang kesintasan karir politik mereka ditopang oleh suara rakyat lapisan bawah itu.
Pada titik itulah visi keadilan sang pemimpin politik boleh jadi mulai terbelokkan. Mungkin pembelokan itu tak terlalu tajam bila integritas sang pemimpin cukup tinggi sehingga dia tak mudah terbeli oleh kekuatan politik yang hendak memelencengkan visinya tentang keadilan.
Bisa ditebak jika sang pemimpin politik itu merupakan sosok yang berintegritas rendah, mudah disogok dan diajak kompromi dalam memainkan kebijakan yang menguntungkan kelompok oligarkis yang jelas bertolak belakang dengan kepentingan masyarakat banyak yang miskin yang menjadi target dari visi keadilan pemimpin politik.
Bahaya pemimpin yang berintegritas rendah, sekalipun visinya tentang keadilan cukup meyakinkan, adalah rontoknya bangunan nilai-nilai etis yang menjadi prasyarat mutlak bekerjanya prinsip-prinsip keadilan.
Situasi itu mendorong komodifikasi keadilan yang dalam praktik keseharian antara lain berbentuk jual-beli keputusan, entah keputusan yang bermuatan politik, yuridis maupun ekonomis. Dalam kasus yang pernah berlangsung di negeri ini, pada pemerintahan sebelumnya, jual beli itu dilakukan oleh para penguasa pertambangan, yang bisa menyetir legislator untuk mengubah fungsi hutan lindung menjadi lahan untuk usaha pertambangan.
Pemimpin politik juga bisa menyerongkan visi keadilannya untuk berpihak pada korporasi global yang sanggup menyogoknya secara finansial dengan memberikan izin pemanfaatan hutan bagi perkebunan untuk industri berbahan sawit. Sang pemimpin tak hirau lagi dengan kenyataan bahwa dalam lahan yang dijadikan perkebunan untuk industri berbahan sawit itu masih dihuni masyarakat adat.
Dalam sistem politik demokratis, kemelencengan visi keadilan sang pemimpin politik akan dikoreksi secara bertahap sesuai dengan periode pemilihan umum. Namun, ketika sistem politik itu ditentukan oleh kelompok oligarkis, koreksi terhadap melencengnya praktik visi keadilan sang pemimpin tak pernah terlaksana.
Tampaknya, sebagaimana diperlihatkan fakta-fakta yang terjadi di berbagai tempat, sistem politik yang demokratis pun masih memungkinkan terjadinya distorsi terhadap visi keadilan yang dimiliki seorang pemimpin politik.
Menarik untuk diriset lebih jauh bahwa wilayah-wilayah yang dipimpin oleh pemimpin yang terbuka, berintegritas tinggi, inovatif, melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan politik, memungkinkan tumbuhnya kesejahteraan warga yang sejalan dengan visi keadilan.
Berkiblat pada pengalaman kota Solo ketika Joko Widodo menjadi wali kotanya, visi keadilan tidak harus berarti sukses menghapus warga miskin dari wilayah yang dipimpin sang wali kota. Keadilan bisa dinilai dan diejahwantakan dalam bentuk keberterimaan mayoritas warga atas kinerja sang pemimpin karena warga merasa puas.
Kepuasan itu bisa dibangun dengan memberikan pelayanan publik yang nyaman, cuma-cuma, yang sebelumnya harus mengeluarkan dana atau dipersulit ketika seorang warga harus berurusan dengan birokrasi pemerintahan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Mengejahwantakan visi keadilan yang tak terdistorsi oleh ruwetnya kepentingan yang berkecamuk semacam itulah yang kini dihadapi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang baru dilantik, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Sebagai lulusan universitas Amerika Serikat, kedua pemimpin politik Ibu Kota itu tentu punya visi yang tak teragukan tentang keadilan.
Dalam salah satu bagian pidato setelah dilantik, Anies mengatakan bahwa Jakarta akan dibangun berdasarkan prinsip terpenting, yakni sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tentu tidak mudah mengejahwantakan prinsip yang begitu mulia di tataran verbal atau di atas kertas itu.
Meski begitu, secara gampangan dapat dikatakan bahwa pemihakan pada kaum miskin untuk mewujudkan keadilan jangan sampai mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yang di dalamnya terkandung kepentingan rakyat miskin, kurang miskin, menengah dan kaya.
Sebagai contoh, untuk memberikan lahan usaha bagi kelompok masyarakat miskin, jangan sampai memunculkan kesemrawutan dan kemacetan jalan-jalan yang menjadi urat nadi perekonomian warga lain. Untuk merealisasikan janji politiknya dengan menerapkan kebijakan antipenggusuran, jangan sampai menimbulkan problem lingkungan yang lebih serius akibat macetnya program normalisasi sungai-sungai yang selama ini menjadi biang bencana banjir di Ibu Kota.
Tantangan-tantangan untuk mewujudkan visi keadilan itulah yang selalu menghadang setiap pemimpin politik. Untuk sanggup mengatasi tantangan itu, sang pemimpin politik tak cukup hanya berbekal visi tentang keadilan tapi juga modal integritas personal, yang tentu saja menjadi syarat mutlak alias berharga mati.
Tantangan bekerja untuk keadilan
17 Oktober 2017 13:20 WIB
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, Anies Baswedan (kedua kanan) dan Sandiaga Uno (kedua kiri), berfoto selepas pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/10/2017). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)
Oleh M Sunyoto
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017
Tags: