Separuh angkot di Bandung sudah dikandangkan
12 Oktober 2017 15:15 WIB
Pengemudi angkutan umum yang tergabung dalam Aliansi Moda Transportasi Umum Jabar berunjukrasa di depan Gedung Sate memprotes keberadaan layanan pemesanan transportasi daring di Bandung, Jawa Barat, Kamis (9/3/2017). Mereka mendesak pemerintah menertibkan angkutan umum berbasis aplikasi online karena dianggap menyengsarakan para pengemudi angkot dan taksi selama. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)
Bandung (ANTARA News) - Ketua harian Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi (WAAT) Jawa Barat Anton Ahmad Fauzi mengatakan kehadiran layanan pemesanan sarana transportasi via daring membuat hampir separuh angkutan kota di Bandung raya dikandangkan.
"Jumlah angkot yang ada di Bandung raya 15.000 angkot, hampir 50 persen tidak operasional karena sudah tidak masuk ke hitungan usahanya," kata Anton saat dihubungi melalui telepon seluler, Kamis.
Anton mengatakan penurunan operasi angkot terjadi dalam setahun terakhir, seiring dengan makin banyaknya layanan pemesanan transportasi via daring, yang umumnya bertarif lebih rendah ketimbang angkutan umum konvensional.
Penurunan pendapatan angkot, menurut dia, membuat para sopir tidak bisa menutup biaya setoran ke pengusaha angkot sehingga mobil-mobil angkutan terpaksa harus dikandangkan.
"Boro-boro untuk setor, untuk dibawa pulang ke rumah juga mereka ketar-ketir," kata dia.
Ia melanjutkan kehadiran layanan transportasi berbasis aplikasi tidak hanya mengancam angkot saja, namun juga moda transportasi lain seperti ojek, dan becak.
"Efeknya ke transportasi yang sudah eksis duluan, bukan hanya angkot saja," kata dia.
Dia berharap pemerintah pusat segera mengeluarkan kebijakan mengenai layanan transportasi berbasis aplikasi.
"Kita tidak anti terhadap online, tapi yang harus ditekankan adalah regulasinya harus jelas," kata dia.
Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno memandang kehadiran layanan pemesanan transportasi daring tidak berbanding lurus dengan pembukaan lapangan kerja baru, namun justru mematikan usaha yang sudah berlangsung.
"Alhasil menimbulkan pengangguran baru," katanya.
Ia mengatakan warga memilih layanan itu karena menawarkan tarif lebih rendah dan kenyamanan.
"Perlu ada perhitungan sebetulnya biaya atau cost yang wajar jika transportasi online dijalankan. Tanpa subsidi dan gimmick marketing tak mungkin bisa harga menjadi sangat murah," kata dia.
"Nampaknya perlu ada upaya untuk mengaudit model bisnis semacam ini. Sebab pada kenyataannya, di luar negeri tarif taksi online tak banyak beda dengan taksi resmi," kata dia.
"Jumlah angkot yang ada di Bandung raya 15.000 angkot, hampir 50 persen tidak operasional karena sudah tidak masuk ke hitungan usahanya," kata Anton saat dihubungi melalui telepon seluler, Kamis.
Anton mengatakan penurunan operasi angkot terjadi dalam setahun terakhir, seiring dengan makin banyaknya layanan pemesanan transportasi via daring, yang umumnya bertarif lebih rendah ketimbang angkutan umum konvensional.
Penurunan pendapatan angkot, menurut dia, membuat para sopir tidak bisa menutup biaya setoran ke pengusaha angkot sehingga mobil-mobil angkutan terpaksa harus dikandangkan.
"Boro-boro untuk setor, untuk dibawa pulang ke rumah juga mereka ketar-ketir," kata dia.
Ia melanjutkan kehadiran layanan transportasi berbasis aplikasi tidak hanya mengancam angkot saja, namun juga moda transportasi lain seperti ojek, dan becak.
"Efeknya ke transportasi yang sudah eksis duluan, bukan hanya angkot saja," kata dia.
Dia berharap pemerintah pusat segera mengeluarkan kebijakan mengenai layanan transportasi berbasis aplikasi.
"Kita tidak anti terhadap online, tapi yang harus ditekankan adalah regulasinya harus jelas," kata dia.
Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno memandang kehadiran layanan pemesanan transportasi daring tidak berbanding lurus dengan pembukaan lapangan kerja baru, namun justru mematikan usaha yang sudah berlangsung.
"Alhasil menimbulkan pengangguran baru," katanya.
Ia mengatakan warga memilih layanan itu karena menawarkan tarif lebih rendah dan kenyamanan.
"Perlu ada perhitungan sebetulnya biaya atau cost yang wajar jika transportasi online dijalankan. Tanpa subsidi dan gimmick marketing tak mungkin bisa harga menjadi sangat murah," kata dia.
"Nampaknya perlu ada upaya untuk mengaudit model bisnis semacam ini. Sebab pada kenyataannya, di luar negeri tarif taksi online tak banyak beda dengan taksi resmi," kata dia.
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017
Tags: