Hujan memicu asap di puncak Gunung Agung
8 Oktober 2017 11:47 WIB
Aktivitas Vulkanik Gunung Agung Sebuah perahu nelayan melintas dengan latar belakang Gunung Agung saat matahari terbenam di pantai Senggigi, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat, NTB, Rabu (27/9/2017). Kepala Pusat Vulkanologi, dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM, Kasbani menyatakan belum terjadi tren penurunan status terhadap aktivitas vulkanik Gunung Agung, dimana status Gunung Agung hingga Rabu (27/9/2017) pukul 18.00 WITA masih level IV (awas). (ANTARA /Ahmad Subaidi) ()
Karangasem, Bali (ANTARA News) - Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Gede Suantika menjelaskan bahwa intensitas hujan tinggi selama tiga hari terakhir menjadi pemicu asap putih setinggi 1.500 meter pada Sabtu (7/10) malam di puncak Gunung Agung.
"Saat ini belum terjadi abu vulkanik dan ini hanya asap putih (solfatara) akibat curah hujan di kawah Gunung Agung yang cukup tinggi," ujar Gede Suantika saat ditemui di Pos Pengamatan Gunung Agung, Karangasem, Bali, Minggu.
Menurut Suantika, akibat dasar kawah yang cukup panas yang disertai tingginya curah hujan yang berakumulasi ke dasar kawah, sehingga timbulnya pelepasan asap yang membumbung tinggi hingga mencapai 1.500 meter itu.
"Asap putih yang keluar ini seperti uap air yang mendominasi yang apabila berada di dekat asap putih ini sangat berbahaya," katanya.
Berdasarkan informasi terakhir dari pendaki PVMBG, bau belerang di puncak Gunung Agung sudah sangat kuat sekali dengan radius 700 meter dari bibir kawah, karena diameter kawah mencapai 900 meter.
Gede Suantika menerangkan, sebelumnya gas solfatara terlihat dari pos pantau pukul 20.45 Wita dengan kumpulan asap putih dengan ketinggian 1.500 meter dari puncak Gunung Agung.
"Sebelumnya sudah beredar video dari arah selatan Gunung Agung membumbung tinggi gas solfatara dengan jelas," ujarnya.
Pihaknya menegaskan, tidak ada melihat aktivitas kegempaan Gunung Agung yang memicu reaksi dari timbulnya gas solfatara ini yang terlihat pada Sabtu (7/10) malam.
Hingga saat ini, status Gunung Agung masih tetap awas dengan kondisi kegempaan masih kritis dimana total vulkanik dalam per harinya di angka 500 hingga 600 kali per hari, gempa vulkanik dangkal 300-350 kali per hari dan tektonik lokal 60-70 kali per harinya.
"Saat ini belum terjadi abu vulkanik dan ini hanya asap putih (solfatara) akibat curah hujan di kawah Gunung Agung yang cukup tinggi," ujar Gede Suantika saat ditemui di Pos Pengamatan Gunung Agung, Karangasem, Bali, Minggu.
Menurut Suantika, akibat dasar kawah yang cukup panas yang disertai tingginya curah hujan yang berakumulasi ke dasar kawah, sehingga timbulnya pelepasan asap yang membumbung tinggi hingga mencapai 1.500 meter itu.
"Asap putih yang keluar ini seperti uap air yang mendominasi yang apabila berada di dekat asap putih ini sangat berbahaya," katanya.
Berdasarkan informasi terakhir dari pendaki PVMBG, bau belerang di puncak Gunung Agung sudah sangat kuat sekali dengan radius 700 meter dari bibir kawah, karena diameter kawah mencapai 900 meter.
Gede Suantika menerangkan, sebelumnya gas solfatara terlihat dari pos pantau pukul 20.45 Wita dengan kumpulan asap putih dengan ketinggian 1.500 meter dari puncak Gunung Agung.
"Sebelumnya sudah beredar video dari arah selatan Gunung Agung membumbung tinggi gas solfatara dengan jelas," ujarnya.
Pihaknya menegaskan, tidak ada melihat aktivitas kegempaan Gunung Agung yang memicu reaksi dari timbulnya gas solfatara ini yang terlihat pada Sabtu (7/10) malam.
Hingga saat ini, status Gunung Agung masih tetap awas dengan kondisi kegempaan masih kritis dimana total vulkanik dalam per harinya di angka 500 hingga 600 kali per hari, gempa vulkanik dangkal 300-350 kali per hari dan tektonik lokal 60-70 kali per harinya.
Pewarta: I Made Surya
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017
Tags: