Yusril: Pasal 162 KUHAP tidak lagi relevan
4 Oktober 2017 22:05 WIB
Ahli Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra kala menyampaikan keterangan saat sidang lanjutan kasus penyebaran kebencian di media sosial di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (15/5/2017). (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Jakarta (ANTARA News) - Pakar Hukum Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan berlakunya Pasal 162 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang keterangan saksi yang tidak dihadirkan dalam persidangan, yang dia nilai sudah tidak relevan untuk diterapkan pada saat ini.
"Apa pasal ini perlu dipertahankan, dengan kemajuan teknologi informasi saat ini. Seharusnya bisa dihadirkan saksinya, didengar melalui telekonferensi," kata Yusril di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu.
Hal itu dikatakan oleh Yusril selaku kuasa hukum dari mantan anggota DPR Emir Moeis yang mengajukan uji materi Pasal 162 KUHAP di MK.
Lebih lanjut Yusril mengatakan bahwa pada saat ini transmisi elektronik sudah diakui sebagai suatu alat bukti di persidangan.
Yusril juga meminta pertimbangan hukum MK dapat memberikan suatu arahan bahwa penerapan suatu pasal dapat disesuaikan dengan tingkat kemajuan teknologi komunikasi.
Dalam sidang uji materi, Yusril juga menceritakan kasus yang menimpa Emir selaku pemohon akibat penerapan pasal tersebut.
Pemohon menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung, pada 2004 lalu dan berkali-kali meminta jaksa penuntut umum serta majelis hakim menghadirkan Direktur Utama Pacific Resources Pirooz Muhammad Sharafih yang berkewarganegaraan asing, namun tidak pernah didatangkan.
"Dia diperiksa di Amerika Serikat, bukan di Kedutaan Indonesia, tidak datang di persidangan, tapi dibacakan keterangannya dalam BAP (berita acara pemeriksaan), diterima oleh majelis hakim, lalu Pak Emir dipidana," kata Yusril.
Belakangan diketahui bahwa tanda tangan dalam surat keterangan tersebut adalah palsu.
Atas kasus yang menjeratnya itu, Emir divonis tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider tiga bulan penjara dan kini meminta agar Majelis Hakim membatalkan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.
"Apa pasal ini perlu dipertahankan, dengan kemajuan teknologi informasi saat ini. Seharusnya bisa dihadirkan saksinya, didengar melalui telekonferensi," kata Yusril di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu.
Hal itu dikatakan oleh Yusril selaku kuasa hukum dari mantan anggota DPR Emir Moeis yang mengajukan uji materi Pasal 162 KUHAP di MK.
Lebih lanjut Yusril mengatakan bahwa pada saat ini transmisi elektronik sudah diakui sebagai suatu alat bukti di persidangan.
Yusril juga meminta pertimbangan hukum MK dapat memberikan suatu arahan bahwa penerapan suatu pasal dapat disesuaikan dengan tingkat kemajuan teknologi komunikasi.
Dalam sidang uji materi, Yusril juga menceritakan kasus yang menimpa Emir selaku pemohon akibat penerapan pasal tersebut.
Pemohon menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung, pada 2004 lalu dan berkali-kali meminta jaksa penuntut umum serta majelis hakim menghadirkan Direktur Utama Pacific Resources Pirooz Muhammad Sharafih yang berkewarganegaraan asing, namun tidak pernah didatangkan.
"Dia diperiksa di Amerika Serikat, bukan di Kedutaan Indonesia, tidak datang di persidangan, tapi dibacakan keterangannya dalam BAP (berita acara pemeriksaan), diterima oleh majelis hakim, lalu Pak Emir dipidana," kata Yusril.
Belakangan diketahui bahwa tanda tangan dalam surat keterangan tersebut adalah palsu.
Atas kasus yang menjeratnya itu, Emir divonis tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider tiga bulan penjara dan kini meminta agar Majelis Hakim membatalkan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.
Pewarta: Maria Rosari
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017
Tags: