Jember (ANTARA News) - Anggota Tim Peneliti Coffee For Social Welfare (CFW) Universitas Jember Dr Soni Sisbudi Harsono memanfaatkan limbah kopi menjadi bahan bakar gas yang bisa digunakan masyarakat untuk memasak kebutuhan sehari-hari.

"Kulit kopi bisa dijadikan bahan bakar pengganti gas oleh masyarakat, sehingga dapat menghemat ekonomi dan kini tinggal bagaimana masyarakat diberikan pelatihan untuk mengolah kulit kopi menjadi bahan bakar," katanya di Kampus Universitas Jember, Jawa Timur, Rabu.

Saat musim panen raya kopi, lanjut dia, banyak ditemukan tumpukan menggunung dari limbah cangkang kopi ataupun kulit kopi dan tanpa penanganan yang bagus, maka limbah kulit kopi itu dapat berpotensi menjadi sumber penyakit bagi masyarakat sekitar.

"Limbah kopi itu bersifat asam, sehingga tidak bagus untuk tanah dan berpotensi menjadi sumber penyakit bagi masyarakat sekitar. Biasanya masyarakat yang berada di sekitar limbah kopi sering sakit-sakitan, sehingga perlu ada upaya mengolah limbah dengan baik dan membawa berkah bagi masyarakat sekitar," tuturnya.

Menurutnya sekali musim panen pada bulan Mei hingga September, biasanya limbah kulit kopi yang ada di sekitar perkebunan wilayah Kawah Ijen Bondowoso mencapai 4 ton dan selama ini limbah kulit kopi hanya menjadi sampah selama kurang lebih enam bulan.

"Setelah enam bulan, limbah kopi sudah bisa dijadikan pupuk organik untuk tanaman kopi, namun selama masa menunggu sampah tersebut bisa merusak kondisi tanah karena bersifat asam dan air serapan dari sampah kopi tersebut sangat tidak baik ketika musim hujan air," katanya.

Untuk itu, dosen di Fakultas Teknologi Pertania (FTP) Universitas Jember itu bersama mahasiswanya tengah berupaya, agar limbah kopi bisa dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.

"Misalnya dapat digunakan sebagai bahan bakar dan proses pembuatan bahan bakar berupa briket berbahan dasar kulit kopi cukup mudah yakni limbah kulit kopi dikeringkan hingga kadar airnya dibawah 12 persen," katanya.

Kemudian ukurannya diperkecil dan dicampurkan dengan bahan lain seperti halnya grajen kayu atau arang sekam yang dicampur dengan lem berbahan ketela yang dibuat sendiri, setelah itu dimasukan pada mesin pencatak kemudian dikeringkan.

Ia mengatakan biaya untuk proses pembuatan pelet bahan bakar kompor itu terjangkau bagi masyarakat menengah kebawah dan untuk menghasilkan 1 kilogram briket hanya memakan biaya Rp6.500.

"Setiap kilogram bisa untuk masak nasi 1 kilogram, masak air dan masak lauk pauk selama 8 jam, sehingga lebih hemat 25 persen dari total biaya gas subsidi dan sangat membantu mengurangi pengeluaran belanja rumah tangga," tuturnya.

Soni bersama timnya telah berhasil memproduksi kompor hemat energi yang bahan bakarnya bisa menggunkan limbah kulit kopi dan kompor tersebut akan segera diproduksi massal untuk dibagikan atau dijual dengan harga murah kepada masyarakat sekitar perkebunan kopi.

"Tidak hanya kulit kopi, ranting dan daun kopi pun bisa diproses sebagai bahan bakar kompor yang kami produksi. Api pun yang dihasilkan cukup besar bisa digunakan untuk rumah tangga ataupun usaha kecil seperti para penjual gorengan," ujarnya.

Ia berharap kompor buatannya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar perkebunan kopi dan akan membimbing masyarakat, agar bisa memproduksi kompor dan briket secara mandiri.

"Biaya untuk pembuatan satu kompor tidak lebih dari Rp125.000 dan bahan bakarnya pun tidak harus limbah kulit kopi karena bahan bakar berupa Biopellet itu juga bisa dibuat dari limbah kotoran binatang ternak, batang pohon pisang dan sampah organik rumah tangga lainnya," katanya, menambahkan.