Kawah Gunung Agung retak akibat dorongan magma
2 Oktober 2017 07:24 WIB
Asap Kawah Gunung Agung Asap mengepul dari kawah Gunung Agung yang berstatus awas terlihat dari Desa Amed, Karangasem, Bali, Jumat (29/9/2017). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mencatat aktifitas Gunung Agung masih tetap tinggi sehingga petugas gabungan akan menyisir kawasan rawan bencana untuk mengevakuasi warga yang belum mengungsi. (ANTARA /Nyoman Budhiana) ()
Denpasar (ANTARA News) - Gunung Agung memiliki ketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut itu senantiasa menjadi tempat pelaksanaan ritual "Pekelem" rangkaian upacara besar di Pura Besakih yang digelar secara berkesinambungan setiap tahun.
Gunung yang berstatus awas (level IV) sejak 22 September lalu, kini tingkat kegempaannya semakin tinggi dalam seminggu terakhir kegempaan untuk vulkanik dalam mencapai 500 kali, vulkanik dangkal 300 lebih dan tektonik lokal 70 kali.
Bahkan hari Sabtu (30/9) dari pukul 06.00-12.00 Wita kegempaan mencapai vulkanik dalam mencapai 166 kali, vulkanik dangkal 50 dan tektonik empat kali.
Kondisi permukaan kawah Gunung Agung kini sudah mengalami retak yang diperkirakan memiliki panjang mencapai 100 meter, tutur Kepala Bidang Mitigasi Gunungapi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Gede Suantika.
Dengan demikian permukaan kawah Gunung Agung yang mengalami keretakan itu otomatis berubah dan sekarang bisa mengamati solfara dari Pos Pengamatan Gunungapi Agung di Desa Rendang, Karangasem.
Keretakan kawah gunung tersebut diketahui setelah sebelumnya dilakukan pemantauan udara yang dilakukan PVMBG bersama Badan Nasionan Penanggulangan Bencana (BNPB), Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas sumatri dan Dandim 1623 Karangasem, Letkol INF Fierman Sjafrial Agustus.
Dengan munculnya gas oksida belerang atau solfatara itu menandakan bahwa ada perubahan di kawah gunung Gunung Agung yang sudah disterilkan dalam radius 12 km.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meningkatkan status Gunung Agung menjadi Awas, wilayah steril yang semula radius enam kilometer dari puncak gunung itu, diperluas menjadi sembilan kilometer.
Selain itu ditambah perluasan wilayah sektoral yang semula 7,5 kilometer menjadi 12 kilometer ke arah Utara, Timur Laut, Tenggara dan Selatan-Baratdaya sehingga kawasan yang berbahaya dalam radius 12 kilometer dari Gunung Agung yang harus dikosongkan.
Dari pengamatan visual PVMBG, menurut Gede Suantika ketinggian gas solfatara itu mencapai sekitar 50 meter. Munculnya solfatara akibat kawah yang retak disebabkan karena dorongan panas dari magma gunung yang selama ini keberadaannya disucikan umat Hindu Pulau Dewata.
Kondisi gunung yang semakin mengkhawatirkan itu menyebabkan masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Agung semakin menjauh dan jumlah pengungsi mencapai 143.840 jiwa orang mengungsi tersebar di 471 titik di seluruh Bali hingga Sabtu malam (30/9).
Padahal Gubernur Bali Made Mangku Pastika berulang kali telah menegaskan dari 78 desa di Kabupaten Karangasem, 50 desa diantaranya dalam kondisi aman hanya masyarakat di 28 desa yang perlu mengungsi.
Sedangkan masyarakat di 50 desa tidak perlu mengungsi dan diharapkan mereka secepatnya pulang kembali ke rumah masing-masing dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) siap mengevakuasinya.
Ke-28 desa yang masuk dalam kawasan rawan bencana (KRB) Gunung Agung yang diwajibkan mengungsi terdiri atas tujuh desa di Kecamatan Kubu meliputi Desa Tulamben, Kubu, Dukuh, Baturinggit, Sukadana dan Tianyar (Tianyar tengah dan barat aman).
Lima desa di Kecamatan Abang terdiri atas Desa Pidpid (bagian atas), Nawekerti, Kesimpar, Datah (bagian atas) dan Ababi (atas dan barat). Di Kecamatan Karangasem tiga desa meliputi Padangkerta, Subagan dan Kelurahan Karangasem (dekat Tukad Janga).
Di Kecamatan Bebandem terdapat empat desa yang warganya harus mengungsi meliputi Buwana Giri (bagian atas), Budekeling (dekat Sungai Embah Api), Bebandem (bagian atas) dan Jungutan.
Warga dari desa-desa di Kecamatan Selat dan Rendang juga wajib mengungsi yakni Duda Utara, Amerta Buwana, Sebudi, Peringsari, Muncan, Besakih, Menanga dan Pembatan.
Peringatan Bahaya
Sementara Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, pihaknya telah memasang 54 rambu peringatan bahaya di Gunung Agung setelah sebelumnya juga memasang sirine di enam titik di sekeliling kawasan rawan bencana.
Puluhan rambu-rambu tersebut sebagai pemberitahuan kepada masyarakat posisinya terhadap radius berbahaya Gunung Agung. Pada rambu peringatan tersebut tertulis "Saat ini anda berada di radius sembilan kilometer dari puncak Gunung Agung" atau tulisan lainnya yang bertujuan memberikan peringatan dan imbauan kepada masyarakat.
Enam sirine yang dikenal dengan nama "iRaditif" atau "iCast Rapid Deployment Notification System" merupakan sirine bergerak yang dapat dipindahkan dengan kendaraan.
BNPB mendatangkan secara khusus alat canggih tersebut dari gudang peralatan BNPB di Sentul Bogor ke Karangasem setelah status Gunung Agung naik menjadi Awas.
Bunyi sirine tersebut mampu menjangkau radius dua kilometer bahkan dapat lebih jauh jika suara terbawa angin. Pemasangan sirine itu bertujuan untuk memberikan peringatan tanda bahaya kepada masyarakat jika Gunung Agung itu meletus.
Dengan demikian bunyi serine untuk mengabarkan sebagai tanda bahaya dan masyarakat dapat melakukan upaya penyelamatan diri dan tindakan kegawatdaruratan.
Enam lokasi sirine terdapat di Polsek Selat, Polsek Rendang, Pos Polisi Tianyar, Polsek Kubu, Koramil Kota Karangasem dan Koramil Abang. Mekanisme kerjanya manual yang dibunyikan oleh petugas atau operator sirine setelah mendapat perintah dari petugas di Posko Utama Tanah Ampo Karangasem.
Posko terhubung dengan Pos Pengamatan Gunung Agung yang memberikan informasi tentang bahaya letusan. Petugas posko didukung analisis data lainnya memberikan perintah kepada operator untuk membunyikan sirine melalui komunikasi dengan radio komunikasi dan telepon seluler.
Untuk itu BNPB telah memasang beberapa "repeater" dan rig untuk radio komunikasi, agar terkoneksi semua jaringan komunikasi antara operator sirine, posko, dan pos pengamatan Gunung Agung.
Demikian pula menyiapkan sistem pengendali otomatis untuk membunyikan sirine yang sudah banyak dipasang pada sirine peringatan dini tsunami.
(BACA: Pemerintah perlu tingkatkan riset kebencanaan)
Gunung yang berstatus awas (level IV) sejak 22 September lalu, kini tingkat kegempaannya semakin tinggi dalam seminggu terakhir kegempaan untuk vulkanik dalam mencapai 500 kali, vulkanik dangkal 300 lebih dan tektonik lokal 70 kali.
Bahkan hari Sabtu (30/9) dari pukul 06.00-12.00 Wita kegempaan mencapai vulkanik dalam mencapai 166 kali, vulkanik dangkal 50 dan tektonik empat kali.
Kondisi permukaan kawah Gunung Agung kini sudah mengalami retak yang diperkirakan memiliki panjang mencapai 100 meter, tutur Kepala Bidang Mitigasi Gunungapi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Gede Suantika.
Dengan demikian permukaan kawah Gunung Agung yang mengalami keretakan itu otomatis berubah dan sekarang bisa mengamati solfara dari Pos Pengamatan Gunungapi Agung di Desa Rendang, Karangasem.
Keretakan kawah gunung tersebut diketahui setelah sebelumnya dilakukan pemantauan udara yang dilakukan PVMBG bersama Badan Nasionan Penanggulangan Bencana (BNPB), Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas sumatri dan Dandim 1623 Karangasem, Letkol INF Fierman Sjafrial Agustus.
Dengan munculnya gas oksida belerang atau solfatara itu menandakan bahwa ada perubahan di kawah gunung Gunung Agung yang sudah disterilkan dalam radius 12 km.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meningkatkan status Gunung Agung menjadi Awas, wilayah steril yang semula radius enam kilometer dari puncak gunung itu, diperluas menjadi sembilan kilometer.
Selain itu ditambah perluasan wilayah sektoral yang semula 7,5 kilometer menjadi 12 kilometer ke arah Utara, Timur Laut, Tenggara dan Selatan-Baratdaya sehingga kawasan yang berbahaya dalam radius 12 kilometer dari Gunung Agung yang harus dikosongkan.
Dari pengamatan visual PVMBG, menurut Gede Suantika ketinggian gas solfatara itu mencapai sekitar 50 meter. Munculnya solfatara akibat kawah yang retak disebabkan karena dorongan panas dari magma gunung yang selama ini keberadaannya disucikan umat Hindu Pulau Dewata.
Kondisi gunung yang semakin mengkhawatirkan itu menyebabkan masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Agung semakin menjauh dan jumlah pengungsi mencapai 143.840 jiwa orang mengungsi tersebar di 471 titik di seluruh Bali hingga Sabtu malam (30/9).
Padahal Gubernur Bali Made Mangku Pastika berulang kali telah menegaskan dari 78 desa di Kabupaten Karangasem, 50 desa diantaranya dalam kondisi aman hanya masyarakat di 28 desa yang perlu mengungsi.
Sedangkan masyarakat di 50 desa tidak perlu mengungsi dan diharapkan mereka secepatnya pulang kembali ke rumah masing-masing dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) siap mengevakuasinya.
Ke-28 desa yang masuk dalam kawasan rawan bencana (KRB) Gunung Agung yang diwajibkan mengungsi terdiri atas tujuh desa di Kecamatan Kubu meliputi Desa Tulamben, Kubu, Dukuh, Baturinggit, Sukadana dan Tianyar (Tianyar tengah dan barat aman).
Lima desa di Kecamatan Abang terdiri atas Desa Pidpid (bagian atas), Nawekerti, Kesimpar, Datah (bagian atas) dan Ababi (atas dan barat). Di Kecamatan Karangasem tiga desa meliputi Padangkerta, Subagan dan Kelurahan Karangasem (dekat Tukad Janga).
Di Kecamatan Bebandem terdapat empat desa yang warganya harus mengungsi meliputi Buwana Giri (bagian atas), Budekeling (dekat Sungai Embah Api), Bebandem (bagian atas) dan Jungutan.
Warga dari desa-desa di Kecamatan Selat dan Rendang juga wajib mengungsi yakni Duda Utara, Amerta Buwana, Sebudi, Peringsari, Muncan, Besakih, Menanga dan Pembatan.
Peringatan Bahaya
Sementara Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, pihaknya telah memasang 54 rambu peringatan bahaya di Gunung Agung setelah sebelumnya juga memasang sirine di enam titik di sekeliling kawasan rawan bencana.
Puluhan rambu-rambu tersebut sebagai pemberitahuan kepada masyarakat posisinya terhadap radius berbahaya Gunung Agung. Pada rambu peringatan tersebut tertulis "Saat ini anda berada di radius sembilan kilometer dari puncak Gunung Agung" atau tulisan lainnya yang bertujuan memberikan peringatan dan imbauan kepada masyarakat.
Enam sirine yang dikenal dengan nama "iRaditif" atau "iCast Rapid Deployment Notification System" merupakan sirine bergerak yang dapat dipindahkan dengan kendaraan.
BNPB mendatangkan secara khusus alat canggih tersebut dari gudang peralatan BNPB di Sentul Bogor ke Karangasem setelah status Gunung Agung naik menjadi Awas.
Bunyi sirine tersebut mampu menjangkau radius dua kilometer bahkan dapat lebih jauh jika suara terbawa angin. Pemasangan sirine itu bertujuan untuk memberikan peringatan tanda bahaya kepada masyarakat jika Gunung Agung itu meletus.
Dengan demikian bunyi serine untuk mengabarkan sebagai tanda bahaya dan masyarakat dapat melakukan upaya penyelamatan diri dan tindakan kegawatdaruratan.
Enam lokasi sirine terdapat di Polsek Selat, Polsek Rendang, Pos Polisi Tianyar, Polsek Kubu, Koramil Kota Karangasem dan Koramil Abang. Mekanisme kerjanya manual yang dibunyikan oleh petugas atau operator sirine setelah mendapat perintah dari petugas di Posko Utama Tanah Ampo Karangasem.
Posko terhubung dengan Pos Pengamatan Gunung Agung yang memberikan informasi tentang bahaya letusan. Petugas posko didukung analisis data lainnya memberikan perintah kepada operator untuk membunyikan sirine melalui komunikasi dengan radio komunikasi dan telepon seluler.
Untuk itu BNPB telah memasang beberapa "repeater" dan rig untuk radio komunikasi, agar terkoneksi semua jaringan komunikasi antara operator sirine, posko, dan pos pengamatan Gunung Agung.
Demikian pula menyiapkan sistem pengendali otomatis untuk membunyikan sirine yang sudah banyak dipasang pada sirine peringatan dini tsunami.
(BACA: Pemerintah perlu tingkatkan riset kebencanaan)
Oleh Dewa Wiguna dan I Ketut Sutika
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017
Tags: