Jember (ANTARA News) - Aswaja Centre PCNU Kabupaten Jember menggelar Simposium Kebangsaan dan Refleksi Perjuangan Ulama (para kiai dan santri) Korban PKI di Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, Sabtu.

"Korban kekerasan PKI tidak hanya dari tentara, namun banyak sekali ulama yang juga menjadi korban kekejamannya seperti yang dialami oleh keluarga Pengasuh Pesantren Madinatul Ulum Cangkring Jenggawah KH Lutfi Ahmad," kata Wakil Ketua PCNU Jember Misbahus Salam.

Dalam simposium itu KH Lutfi Ahmad menyampaikan testimoni kekejaman PKI yang menahan dan menyiksa ayahnya KH Ahmad Saif dan menembak pamannya KH Ali Hasan ditembak yang akhirnya meninggal saat dibawa ke rumah sakit pada tahun 1965.

"Bermula dari rencana Presiden Soekarno yang akan mengadakan rekonsiliasi dengan melibatkan PKI maka terjadi pro kontra di kalangan ulama," kata KH Lutfi Ahmad.

Saat itu, lanjut dia, KH Ali Hasan sebagai salah satu diplomat yang dipercaya Presiden Soekarno banyak didatangi ulama dan dimintai pendapat yang akhirnya dibuatlah opsi-opsi untuk disampaikan kepada Presiden Soekarno.

"Namun, dalam perjalanannya di Juanda Surabaya dihadang dan disiksa oleh orang-orang PKI, bahkan paman saya ditembak dan bapak saya disiksa dan ditahan, sedangkan dokumen yang dibawa dirampas," tuturnya.

Selain KH Lutfi Ahmad, turut menjadi pembicara dalam simposium kebangsaan tersebut Ketua MUI Jember Prof Halim Subahar, Dosen Fakultas Hukum Adam Muhshi, dan Komandan Kodim 0824 Letkol Inf Rudianto.

Sementara Direktur Aswaja Centre PCNU Jember KH Abdul Haris mengatakan hasil simposium dan refleksi perjuangan ulama korban PKI tersebut menghasilkan tujuh rekomendasi, di antaranya adalah Pemerintah tidak perlu melakukan permintaan maaf kepada PKI karena akan justru melukai para korban PKI.

Kemudian, sejarah harus disampaikan secara utuh, tidak boleh mengaburkan fakta sejarah sehingga berpotensi menjadikan pelaku sebagai korban dan menjadikan korban sebagai pelaku.

"Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak-hak warga dan berkewajiban untuk mencerdaskan generasi muda dan menyampaikan fakta sejarah secara utuh tersebut," kata dia.

Rekomendasi berikutnya adalah semua pihak hendaknya tidak lagi menyimpan dendam dan bahkan harus saling memaafkan karena pada prinsipnya tidak ada dosa turunan.

"Rekonsiliasi kultural sudah terjadi sehingga tidak perlu diformalkan kembali yang justru berpotensi memperjelas perbedaan," kata Abdul Haris.

(T.KR-ZUM/S024)