Solusi krisis Rohingya menurut Rohingya
Oleh Jafar M. Sidik
30 September 2017 10:01 WIB
Seorang wanita pengungsi Rohingya bersama anaknya berdiri di Kamp Pengungsian Ukhia, Cox Bazar, Bangladesh, Kamis (28/9/2017). PBB menyatakan jumlah pengungsi Rohinya telah mencapai 480.000 orang sejak konflik di Rakhine berlangsung pada 25 Agustus 2017. (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)
Cox's Bazar, Bangladesh (ANTARA News) - Selagi Antara asyik berbicara dengan seorang pria Bangladesh yang berada di sekitar pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Ukhia, Cox's Bazar, dalam Bahasa Inggris seadanya, Hafez Ullah antusias menyimak apa pun isi perbincangan kami.
Pria kurus kering itu sesekali tersenyum, terlihat jelas ingin mengutarakan sesuatu.
Begitu Antara mengakhiri perbincangan dengan si pria Bangladesh, Hafez langsung mendekat untuk menumpahkan banyak hal mengenai Rohingya, Rakhine, Myanmar dan Aung San Suu Kyi.
"Saya belum pernah bertemu dan berbicara dengan orang asing sebelum ini," kata dia setelah Antara menanyainya soal nama dan asalnya, Kamis menjelang malam 28 September kemarin.
Hafez adalah orang Rohingya. Tidak seperti umumnya pengungsi-pengungsi Rohingya lainnya, dia dapat berbicara dalam Bahasa Inggris.
Juga tidak seperti umumnya pengungsi Rohingya yang lain, Hafez termasuk pengungsi terdidik.
Memperkenalkan diri sebagai sarjana filsafat jebolan Universitas Rakhine State, Myanmar, Hafez mengaku berasal dari Maungdaw Myo. Ini adalah daerah yang menjadi episentrum konflik di Rakhine belakangan ini.
Di daerah inilah, ratusan orang yang disebut teroris oleh Myanmar tetapi patriot oleh sebagian orang Rohingya, melancarkan serangan terkoordinasi ke beberapa pos polisi dan sebuah pangkalan militer Myanmar.
Fatal bagi mereka, tentara Myanmar membalas jauh lebih fatal dari serangan mereka, sampai akhirnya memaksa lebih dari separuh penduduk Rakhine lari tunggang langgang ke daerah-daerah yang dianggap aman, terutama melintasi Sungai Naf untuk mencapai Bangladesh. Dan Hafez adalah salah satu dari mereka.
"Saya lari ke Bangladesh bersama istri dan kedua anak saya dengan berjalan kaki berhari-hari. Tiba di sini (Ukhia) sebelum Idul Adha lalu," kata Hafez.
Dia kini bergabung dengan puluhan ribu orang Rohingya lainnya di Ukhia di dekat perbatasan Bangladesh-Myanmar.
Mengembalikan martabat
Hidup di kamp pengungsian tidak lebih memedihkan dari hidup di Maungdaw. "Tetapi martabat kami di sana (Myanmar) lebih rendah ketimbang jadi pengungsi di sini (Bangladesh)," kata Hafez.
Hafez tidak tahu kapan dia dan ratusan ribu pengungsi Rohingya lainnya bisa kembali ke Myanmar. Bagi dia, Rakhine, Arakan atau apa pun nama tempat ini disebut, adalah tanah airnya, tak ada yang bisa menggantikan itu.
Pada 20 September, pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengutarakan rangkaian janji kepada dunia dan komunitas yang hanya disebutnya dengan nama "muslim Rakhine". Salah satu janji dia adalah merepatriasi pengungsi Rohingya ke Myanmar.
"Yang dia katakan itu bohong," kata Hafez.
Hafez skeptis janji itu diwujudkan oleh pemimpin Myanmar peraih Hadiah Nobel Perdamaian tersebut.
Sembilan hari lalu Suu Kyi berkata, "Kami sudah siap untuk memulai proses verifikasi (untuk repatriasi Rohingya), kapan pun itu."
Tetapi seperti umumnya pengungsi Rohingya, Hafez menilai janji itu kosong belaka. Dia menganggap apa yang dijanjikan Suu Kyi itu dilakukan di bawah aturan yang sebelumnya juga pernah dilakukan, dan terbukti tidak berdampak apa-apa.
"Saya mengakui dia (Suu Kyi) punya niat untuk menyelesaikan masalah Rohingya, tapi sayang dia bukan penentu utama kebijakan," kata Hafez.
Bagi Hafez, penguasa nyata di Myanmar, termasuk untuk semua hal yang berkaitan dengan Rakhine dan Rohingya, adalah "tatmadaw" atau militer, yang saat ini dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing.
"Min Aung-lah yang penguasa sesungguhnya di Myanmar," kata Hafez.
Pria satu istri dua anak ini melihat Suu Kyi terborgol oleh militer. Di mata Hafez, Suu Kyi hanya suar Myanmar kepada dunia, yang sebenarnya tak punya banyak kekuasaan, apalagi sampai tingkat paling praktikal.
Oleh karena itu Hafez pesimistis dengan rencana repatriasi yang digagas Aung San Suu Kyi.
"Masalah Rohingya tidak sebatas memberikan kartu identitas penduduk, lalu dianggap selesai. Tidak! Masalah kami di Myanmar adalah soal mengembalikan martabat yang terinjak-injak," kata Hafez meninggikan intonasi bicaranya untuk menegaskan artikulasi pesannya kepada Myanmar dan dunia.
"Kunci mengatasi masalah Rohingya adalah bagaimana Myanmar mengembalikan dan menumbuhkan harga diri orang Rohingya," ulang Hafez.
Sumpah anak Rohingya
Harga diri memang menjadi hal prinsip bagi sebagian besar orang Rohingya, apalagi setelah mereka menyeberang ke Bangladesh dunia menjadi tahu betapa terinjak-injaknya harga diri dan martabat mereka.
Terlalu banyak cerita mengenai wanita-wanita yang diperkosa, anak-anak yang terpaksa menyaksikan orang tua mereka dibunuh di depan mata mereka sendiri.
"Sampai-sampai ada seorang anak usia 12 tahun, baru 12 tahun!...yang bersumpah di depan saya bahwa suatu saat dia akan membalaskan dendam atas kematian orang tuanya," kata Aiman Ul Alam yang menjadi pemandu sekaligus penerjemah untuk misi-misi kemanusiaan Indonesia di Cox's Bazar.
Setiap hari Aiman mengantar orang asing, termasuk wartawan-wartawan luar negeri, untuk menemui para pengungsi Rohingya, sampai jauh ke pedalaman perbatasan Myanmar-Bangladesh. Dari sinilah Aiman mendapatkan begitu banyak cerita mengenaskan soal Rohingya.
Dan itu tak dipungkiri oleh Hafez Ullah, kendati dia mengakui hidup di tempat pengungsian juga sangat menyulitkan.
"Tapi di sini kami punya tempat berteduh, tidak ada orang yang diperkosa, tidak ada orang yang dibunuh," kata Hafez.
Sulit untuk memverifikasi pengakuan Hafez dan umumnya pengungsi Rohingya, karena pemerintah Myanmar menutup rapat-rapat Rakhine seolah ingin mencegah dunia tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Tetapi ribuan pengakuan dan testimoni dari pengungsi terdokumentasi di mana-mana, baik di dalam maupun luar negeri.
Selama sekitar satu setengah jam berada di kamp pengungsian bersama tim Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar, Antara juga beberapa kali menjadi sasaran curhat pengungsi, tanpa tahu apa yang mereka omongkan.
Seorang di antaranya adalah perempuan berwajah teramat susah, dan tergoncang, yang terus berbicara dalam Bahasa Bengali-Rohingya.
Setelah memanggil Aiman, diketahui perempuan ini punya nama Hashina Ulfa.
"Sudah sepuluh hari di kamp ini. Suami saya dibunuh di depan mata saya sendiri dan kedua anak kami," kata Hashina. "Tolonglah kami."
Tolong, selain kata lapar, adalah yang kerap terlontar dari mulut para pengungsi Rohingya.
"Tolong, kabarkan keadaan kami ini kepada dunia, kepada negaramu, Indonesia," kata Hafez.
Pria kurus kering itu sesekali tersenyum, terlihat jelas ingin mengutarakan sesuatu.
Begitu Antara mengakhiri perbincangan dengan si pria Bangladesh, Hafez langsung mendekat untuk menumpahkan banyak hal mengenai Rohingya, Rakhine, Myanmar dan Aung San Suu Kyi.
"Saya belum pernah bertemu dan berbicara dengan orang asing sebelum ini," kata dia setelah Antara menanyainya soal nama dan asalnya, Kamis menjelang malam 28 September kemarin.
Hafez adalah orang Rohingya. Tidak seperti umumnya pengungsi-pengungsi Rohingya lainnya, dia dapat berbicara dalam Bahasa Inggris.
Juga tidak seperti umumnya pengungsi Rohingya yang lain, Hafez termasuk pengungsi terdidik.
Memperkenalkan diri sebagai sarjana filsafat jebolan Universitas Rakhine State, Myanmar, Hafez mengaku berasal dari Maungdaw Myo. Ini adalah daerah yang menjadi episentrum konflik di Rakhine belakangan ini.
Di daerah inilah, ratusan orang yang disebut teroris oleh Myanmar tetapi patriot oleh sebagian orang Rohingya, melancarkan serangan terkoordinasi ke beberapa pos polisi dan sebuah pangkalan militer Myanmar.
Fatal bagi mereka, tentara Myanmar membalas jauh lebih fatal dari serangan mereka, sampai akhirnya memaksa lebih dari separuh penduduk Rakhine lari tunggang langgang ke daerah-daerah yang dianggap aman, terutama melintasi Sungai Naf untuk mencapai Bangladesh. Dan Hafez adalah salah satu dari mereka.
"Saya lari ke Bangladesh bersama istri dan kedua anak saya dengan berjalan kaki berhari-hari. Tiba di sini (Ukhia) sebelum Idul Adha lalu," kata Hafez.
Dia kini bergabung dengan puluhan ribu orang Rohingya lainnya di Ukhia di dekat perbatasan Bangladesh-Myanmar.
Mengembalikan martabat
Hidup di kamp pengungsian tidak lebih memedihkan dari hidup di Maungdaw. "Tetapi martabat kami di sana (Myanmar) lebih rendah ketimbang jadi pengungsi di sini (Bangladesh)," kata Hafez.
Hafez tidak tahu kapan dia dan ratusan ribu pengungsi Rohingya lainnya bisa kembali ke Myanmar. Bagi dia, Rakhine, Arakan atau apa pun nama tempat ini disebut, adalah tanah airnya, tak ada yang bisa menggantikan itu.
Pada 20 September, pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengutarakan rangkaian janji kepada dunia dan komunitas yang hanya disebutnya dengan nama "muslim Rakhine". Salah satu janji dia adalah merepatriasi pengungsi Rohingya ke Myanmar.
"Yang dia katakan itu bohong," kata Hafez.
Hafez skeptis janji itu diwujudkan oleh pemimpin Myanmar peraih Hadiah Nobel Perdamaian tersebut.
Sembilan hari lalu Suu Kyi berkata, "Kami sudah siap untuk memulai proses verifikasi (untuk repatriasi Rohingya), kapan pun itu."
Tetapi seperti umumnya pengungsi Rohingya, Hafez menilai janji itu kosong belaka. Dia menganggap apa yang dijanjikan Suu Kyi itu dilakukan di bawah aturan yang sebelumnya juga pernah dilakukan, dan terbukti tidak berdampak apa-apa.
"Saya mengakui dia (Suu Kyi) punya niat untuk menyelesaikan masalah Rohingya, tapi sayang dia bukan penentu utama kebijakan," kata Hafez.
Bagi Hafez, penguasa nyata di Myanmar, termasuk untuk semua hal yang berkaitan dengan Rakhine dan Rohingya, adalah "tatmadaw" atau militer, yang saat ini dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing.
"Min Aung-lah yang penguasa sesungguhnya di Myanmar," kata Hafez.
Pria satu istri dua anak ini melihat Suu Kyi terborgol oleh militer. Di mata Hafez, Suu Kyi hanya suar Myanmar kepada dunia, yang sebenarnya tak punya banyak kekuasaan, apalagi sampai tingkat paling praktikal.
Oleh karena itu Hafez pesimistis dengan rencana repatriasi yang digagas Aung San Suu Kyi.
"Masalah Rohingya tidak sebatas memberikan kartu identitas penduduk, lalu dianggap selesai. Tidak! Masalah kami di Myanmar adalah soal mengembalikan martabat yang terinjak-injak," kata Hafez meninggikan intonasi bicaranya untuk menegaskan artikulasi pesannya kepada Myanmar dan dunia.
"Kunci mengatasi masalah Rohingya adalah bagaimana Myanmar mengembalikan dan menumbuhkan harga diri orang Rohingya," ulang Hafez.
Sumpah anak Rohingya
Harga diri memang menjadi hal prinsip bagi sebagian besar orang Rohingya, apalagi setelah mereka menyeberang ke Bangladesh dunia menjadi tahu betapa terinjak-injaknya harga diri dan martabat mereka.
Terlalu banyak cerita mengenai wanita-wanita yang diperkosa, anak-anak yang terpaksa menyaksikan orang tua mereka dibunuh di depan mata mereka sendiri.
"Sampai-sampai ada seorang anak usia 12 tahun, baru 12 tahun!...yang bersumpah di depan saya bahwa suatu saat dia akan membalaskan dendam atas kematian orang tuanya," kata Aiman Ul Alam yang menjadi pemandu sekaligus penerjemah untuk misi-misi kemanusiaan Indonesia di Cox's Bazar.
Setiap hari Aiman mengantar orang asing, termasuk wartawan-wartawan luar negeri, untuk menemui para pengungsi Rohingya, sampai jauh ke pedalaman perbatasan Myanmar-Bangladesh. Dari sinilah Aiman mendapatkan begitu banyak cerita mengenaskan soal Rohingya.
Dan itu tak dipungkiri oleh Hafez Ullah, kendati dia mengakui hidup di tempat pengungsian juga sangat menyulitkan.
"Tapi di sini kami punya tempat berteduh, tidak ada orang yang diperkosa, tidak ada orang yang dibunuh," kata Hafez.
Sulit untuk memverifikasi pengakuan Hafez dan umumnya pengungsi Rohingya, karena pemerintah Myanmar menutup rapat-rapat Rakhine seolah ingin mencegah dunia tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Tetapi ribuan pengakuan dan testimoni dari pengungsi terdokumentasi di mana-mana, baik di dalam maupun luar negeri.
Selama sekitar satu setengah jam berada di kamp pengungsian bersama tim Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar, Antara juga beberapa kali menjadi sasaran curhat pengungsi, tanpa tahu apa yang mereka omongkan.
Seorang di antaranya adalah perempuan berwajah teramat susah, dan tergoncang, yang terus berbicara dalam Bahasa Bengali-Rohingya.
Setelah memanggil Aiman, diketahui perempuan ini punya nama Hashina Ulfa.
"Sudah sepuluh hari di kamp ini. Suami saya dibunuh di depan mata saya sendiri dan kedua anak kami," kata Hashina. "Tolonglah kami."
Tolong, selain kata lapar, adalah yang kerap terlontar dari mulut para pengungsi Rohingya.
"Tolong, kabarkan keadaan kami ini kepada dunia, kepada negaramu, Indonesia," kata Hafez.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017
Tags: