BNPB minta jangan sebarkan hoax Gunung Agung meletus
25 September 2017 20:05 WIB
Polisi Inspeksi Warga Gunung Agung Polisi meminta warga untuk segera mengungsi setelah terjadinya peningkatan aktifitas Gunung Agung di Desa Temukus yaitu desa yang berjarak sekitar tiga kilometer dari puncak gunung itu di Karangasem, Bali, Kamis (21/9/2017). . (ANTARA/Nyoman Budhiana)
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Pusdatin dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho meminta masyarakat tidak menyebarkan berita palsu (hoax) yang menyebut Gunung Agung di Karangasem, Bali, telah meletus.
"Masyarakat diimbau tidak percaya dan menyebarkan berita yang menyesatkan karena letusan gunung tidak dapat diprediksi pasti," kata Sutopo di Jakarta, Senin.
Menurut dia, berita palsu dapat menyebabkan kepanikan di tengah masyarakat, terlebih terkait dengan Gunung Agung yang saat ini menunjukkan tanda-tanda akan mengalami erupsi sehingga dilakukan antisipasi dengan mobilisasi masyarakat sekitar gunung tersebut.
Terdapat kecenderungan, kata dia, masyarakat membagi konten yang tidak dapat dipertanggungjawabkan terkait Gunung Agung. Misalnya terdapat pesan berantai di media sosial mengenai Gunung Agung yang meletus atau video letusan Gunung Agung padahal konten audio visual itu tidak relevan dengan konteks terkini.
Dia mengatakan letusan gunung tidak dapat diprediksi, demikian juga Gunung Agung yang hingga saat ini telah memasuki masa kritis di level awas. Hanya saja gunung akan memberi petanda tertentu jika akan meletus seperti seringnya terjadi gempa. Umumnya, jika terjadi gempa tremor atau getaran di tanah secara terus menerus dalam waktu lama maka letusan akan terjadi dalam waktu dekat.
Sutopo mengatakan jumlah pengungsi saat ini lebih dari 48 ribu jiwa dengan sebagian besar adalah penduduk yang tinggal di sekitar Gunung Agung dalam radius 6-12 kilometer dari gunung. Sedikitnya terdapat 301 titik posko pengungsian yang tersebar di sembilan kabupaten di Bali.
Masyarakat, kata dia, mengungsi ke berbagai tempat seperti fasilitas umum, tempat ibadah dan rumah-rumah warga. Dia mengapresiasi adanya modal sosial yang baik ketika banyak unsur masyarakat yang merelakan rumahnya menjadi tempat pengungsian.
Gunung Agung sendiri meletus terakhir kali pada 1963, yaitu pada kurun 18 Februari-Januari 1964. Dampak letusan saat itu menyebabkan 1500 jiwa tewas, 1.700 rumah hancur, 225.000 jiwa kehilangan mata pencaharian dan 100.000 jiwa mengungsi.
"Masyarakat diimbau tidak percaya dan menyebarkan berita yang menyesatkan karena letusan gunung tidak dapat diprediksi pasti," kata Sutopo di Jakarta, Senin.
Menurut dia, berita palsu dapat menyebabkan kepanikan di tengah masyarakat, terlebih terkait dengan Gunung Agung yang saat ini menunjukkan tanda-tanda akan mengalami erupsi sehingga dilakukan antisipasi dengan mobilisasi masyarakat sekitar gunung tersebut.
Terdapat kecenderungan, kata dia, masyarakat membagi konten yang tidak dapat dipertanggungjawabkan terkait Gunung Agung. Misalnya terdapat pesan berantai di media sosial mengenai Gunung Agung yang meletus atau video letusan Gunung Agung padahal konten audio visual itu tidak relevan dengan konteks terkini.
Dia mengatakan letusan gunung tidak dapat diprediksi, demikian juga Gunung Agung yang hingga saat ini telah memasuki masa kritis di level awas. Hanya saja gunung akan memberi petanda tertentu jika akan meletus seperti seringnya terjadi gempa. Umumnya, jika terjadi gempa tremor atau getaran di tanah secara terus menerus dalam waktu lama maka letusan akan terjadi dalam waktu dekat.
Sutopo mengatakan jumlah pengungsi saat ini lebih dari 48 ribu jiwa dengan sebagian besar adalah penduduk yang tinggal di sekitar Gunung Agung dalam radius 6-12 kilometer dari gunung. Sedikitnya terdapat 301 titik posko pengungsian yang tersebar di sembilan kabupaten di Bali.
Masyarakat, kata dia, mengungsi ke berbagai tempat seperti fasilitas umum, tempat ibadah dan rumah-rumah warga. Dia mengapresiasi adanya modal sosial yang baik ketika banyak unsur masyarakat yang merelakan rumahnya menjadi tempat pengungsian.
Gunung Agung sendiri meletus terakhir kali pada 1963, yaitu pada kurun 18 Februari-Januari 1964. Dampak letusan saat itu menyebabkan 1500 jiwa tewas, 1.700 rumah hancur, 225.000 jiwa kehilangan mata pencaharian dan 100.000 jiwa mengungsi.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017
Tags: