Jakarta (ANTARA News) - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, menegaskan, pemutaran kembali film Penumpasan Penghianatan G30S/PKI, dan ajakan untuk nonton bareng bagi beberapa institusi merupakan hal yang tidak perlu diperdebatkan.

"Menonton film sejarah memang perlu bagi generasi berikutnya untuk memahami sejarah kebangsaan Indonesia secara utuh. Kita tak perlu malu, marah atau kesal menonton film sejarah. Ajakan atau anjuran menonton tak perlu dipolemikkan apalagi sampai membuat bangsa ini bertengkar dan berselisih," kata Wiranto, di Jakarta, Minggu.


Dia juga memberi pernyataan tertulis kepada pers soal itu.

Menurut dia, anjuran Presiden Joko Widodo untuk mempelajari sejarah kebangsaan dengan menyesuaikan cara penyajian agar mudah dipahami generasi milenial merupakan kebijakan rasional.

"Peristiwa 30 September 1965 adalah peristiwa sejarah kelam bangsa Indonesia. Masih banyak peristiwa serupa yang dialami bangsa Indonesia seperti pemberontakan DI/TII, Pemberontakan PRRI/Permesta, peristiwa Malari di tahun 1974 yang semua itu adalah rangkaian fakta sejarah yang sudah berlalu," kata Wiranto.

"Kita tidak mungkin memutar kembali jarum jam dan mengubah fakta sejarah sekehendak kita. Sejarah tersebut merupakan perjalanan bangsa yang dapat dijadikan referensi bangsa untuk menatap ke masa depan," ujar Wiranto, sesuai pernyataan tertulis dia.

Ia menambahkan, setiap menjelang pemilu suhu politik selalu memanas. Keadaan itu sudah berlaku sejak dahulu dan menjadi bagian dari pasang surutnya suhu politik dalam alam demokrasi.

Kantor yang dia pimpin dan segenap jajarannya akan terus menjaga agar memanasnya suhu politik tersebut masih pada batas-batas kewajaran agar tidak menimbulkan instabilitas nasional yang tentu akan menganggu berbagai kepentingan nasional.

"Menjelang bulan Oktober ini telah muncul berbagai isu yang cukup meresahkan masyarakat dan telah menjadi perdebatan publik dengan berbagai spekulasi yang menggiring terjadinya konflik horizontal yang perlu segera dihentikan agar tak mengganggu kepentingan nasional," kata Wiranto.