Beijing (ANTARA News) - Ahli perdagangan internasional dari Akademi China untuk Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Ekonomi Zhu Caihua menyatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari strategi kerja sama regional "Belt and Road Initiative" (BRI).

"Munculnya China sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia melalui inisiatif tersebut merupakan kunci pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di kawasan Asia, Afrika, serta Eropa," katanya saat menerima kunjungan wartawan dari negara-negara ASEAN di Beijing, Sabtu (23/9).

China, menurut dia, akan memainkan peran sebagai penggerak roda ekonomi regional, seperti halnya Amerika Serikat (AS) bagi Kanada dan Meksiko atau Jepang bagi Asia.

"Afrika dan Amerika Latin seperti tertinggal dalam pertarungan ini karena kita tidak bisa mengidentifikasi negara-negara dengan ekonomi paling kuat di dua kawasan tersebut," ujar perempuan yang menjabat Deputi Direktur Institut Perdagangan Luar Negeri pada lembaga yang berafiliasi dengan Kementerian Perdagangan China itu.

Meskipun sempat mendapat persepsi negatif dari negara-negara tetangga, seperti Filipina dan Vietnam, saat pertama diperkenalkan oleh Presiden China Xi Jinping pada 2015, pengaruh China melalui BRI semakin meluas ke beberapa negara Asia, tidak terkecuali Indonesia.

Di bawah platform BRI, badan usaha milik negara di Indonesia dan China yang tergabung dalam konsorsium PT Kereta Api Cepat Indonesia China (KCIC) saat ini sedang menggarap proyek infrastruktur kereta cepat Jakarta-Bandung yang ditargetkan selesai pada 2019.

"Sebagai seorang akademisi saya melihat perkembangan ini sangat baik karena orang menyadari bahwa dunia mulai berubah, dan China sebagai kekuatan regional yang baru bangkit tidak akan dengan bodoh memulai konflik atau sengketa dengan negara-negara tetangganya," kata Caihua.

Hingga 2015 China telah berkontribusi lebih dari 70 persen pembangunan infrastruktur di Asia dengan nilai investasi senilai 686 miliar dolar AS.

Berdasarkan data Asian Development Bank (ADB), nilai investasi untuk pembangunan infrastruktur di Asia dalam kurun waktu 2016-2020 diperkirakan mencapai 26 triliun dolar AS dengan porsi terbesar pada proyek pembangkit listrik senilai 11,69 miliar dolar AS.

Saat ini, sektor publik mendanai sekitar 92 persen investasi infrastruktur regional termasuk diantaranya 90 persen di Asia Timur yang didanai oleh China dan 62 persen di Asia Selatan.