Australia Tekankan Pendekatan Multi Sektoral Atasi Flu Burung
7 Juni 2007 07:30 WIB
Sydney (ANTARA News) - Australia dalam pembukaan pertemuan para menteri kesehatan (HMM) APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) di Sydney, Kamis pagi, menekankan pentingnya pendekatan multi sektoral dalam penanggulangan wabah flu burung yang sejak akhir 2003 menyerang rakyat negara-negara anggota forum itu.
"Saya pikir pendekatan multi sektoral sangat penting karena faktanya berbagai sektor terpengaruh akibat wabah ini. Penyakit menular tidak menghormati batas-batas negara," kata Menteri Kesehatan dan Penuaan Australia Tony Abbott dalam pidatonya di depan 11 menteri dan para pejabat tinggi dari 21 anggota APEC saat membuka secara resmi pertemuan itu di Hotel Westin Sydney.
Tony Abbott mengatakan, wabah H5N1 yang telah melanda sejumlah anggota ekonomi APEC, seperti China, Vietnam, dan Indonesia, memerlukan kesiapan di tingkat nasional, regional, dan global yang baik karena kesehatan publik, sektor bisnis, dan institusi sosial sangat rentan terhadap pengaruh flu burung ini.
"Mengingat berbagai biaya yang ditimbulkan wabah ini, HMM ini sangat penting guna membicarakan remifikasi dari pandemi (H5N1) ini," katanya diawal Health Minister Meeting (HMM) APEC yang digelar dua hari sejak hari ini (7/6).
Ia mengatakan, dalam konteks Australia, kesiapan untuk menangani wabah flu burung ini "sama pentingnya dengan investasi di sektor pertahanan".
Pemerintah Australia, katanya, telah mengalokasikan anggaran sekitar 600 juta dolar Australia.
Dari total dana itu, sekitar 414 juta dolar di antaranya diperuntukkan bagi kesiapan domestik, sekitar 100 juta dolar dialokasikan untuk membantu negara-negara tetangga, serta 44 juta dolar sisanya dipakai untuk memperkuat berbagai unit terkait, seperti karantina, kata Tony Abbott di depan para delegasi, termasuk Menkes Siti Fadilah Supari.
Ia mengatakan, anggaran bagi sektor kesehatan sesungguhnya bukanlah sekadar "pengeluaran" atau "biaya" melainkan investasi yang justru mendukung sektor ekonomi yang produktif.
"Memang kita (para menteri kesehatan) tidak selalu mudah untuk meyakinkan kolega kita (menteri perdagangan dan ekonomi) tentang pentingnya investasi sektor kesehatan ini (bagi pembangunan sektor ekonomi)," katanya.
Dalam pertemuan hari pertama HMM ini, Koordinator Influenza Sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), David Nabarro, menyampaikan pidatonya di depan para delegasi.
Terkait dengan wabah flu burung di kawasan Asia Pasifik, Australia tercatat sebagai salah satu negara dengan cadangan Tamiflu dan Relenza terbesar di dunia.
Negara benua berpenduduk lebih dari 20 juta jiwa itu hingga awal 2007 dilaporkan memiliki 8,75 juta "courses" (pengobatan) antiviral Tamiflu dan Relenza sebagai cadangan yang siap pakai.
Kendati hingga kini tidak terdapat kasus flu burung di Australia, negara benua ini pernah merasakan pahitnya pandemi flu Spanyol tahun 1919 dimana sekitar 11.500 warganya, kebanyakan remaja, meninggal.
Dunia pernah mengalami pandemi flu pada tahun 1918, 1957, dan 1968. Pada pandemi flu Spanyol yang terjadi dalam tiga gelombang, yakni 1918, 1919 dan 1957-1958, antara 20 hingga 40 juta orang meninggal di seluruh dunia.
Dalam pandemi flu Asia tahun 1957, dua juta orang meninggal dunia. Bayi dan orang lanjut usia merupakan kelompok penderita yang sangat rentan terhadap virus flu ini, sedangkan pada pandemi flu Hong Kong tahun 1968-1970, satu juta orang di seluruh dunia dilaporkan meninggal dunia.
Isu kesehatan, termasuk wabah flu burung, mendapat perhatian serius dari APEC sejak merebaknya wabah sindrom pernapasan sangat akut (SARS) tahun 2002. Sejak itu, APEC mulai mengkaji berbagai isu kesehatan yang berdampak pada perekonomian di kawasan Asia Pasifik.
Akibat wabah flu burung (H5N1) ini, industri perunggasan Indonesia misalnya mengalami kerugian hingga Rp13 triliun antara tahun 2003 dan 2005.
Secara global, total kerugian yang diderita industri peternakan dunia mencapai dua miliar dolar AS atau Rp18,282 triliun (1 dolar AS=Rp9.141-red) selama kurun waktu September 2005 hingga September 2006.
Selain kerugian ekonomi, H5N1 juga telah merenggut banyak nyawa warga negara anggota ekonomi APEC. Indonesia tercatat sebagai anggota ekonomi APEC yang terbanyak memiliki kasus H5N1, yakni hingga Mei lalu mencapai 98 kasus yang 78 di antara penderita meninggal dunia.
Di China hingga 4 Juni 2007, kementerian kesehatan negara itu melaporkan 25 kasus H5N1, yang 16 penderita di antaranya meninggal dunia.
Forum kerja sama ekonomi itu beranggotakan Indonesia, Australia, AS, Brunei, Kanada, Chile, RRC, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini , Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Thailand, dan Vietnam.(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007
Tags: