Jakarta (ANTARA News) - Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setiadi menyatakan tidak benar jika pihaknya telah menahan Setya Novanto seperti yang disebutkan dalam dalil permohonan praperadilan Ketua DPR RI tersebut.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui hakim tunggal Cepi Iskandar pada Jumat (22/9) menggelar sidang lanjutan praperadilan Setya Novanto dengan agenda pembacaan jawaban dari pihak termohon dalam hal ini KPK.

"Sampai saat pembacaan jawaban atas permohonan praperadilan ini dibacakan dalam persidangan, termohon belum melakukan tindakan apapun upaya penahanan terhadap pemohon," kata Setiadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat.

Oleh karena itu, kata dia, secara logis dalil-dalil dalam permohonan praperadilan maupun petitum terkait dengan mengeluarkan Setya Novanto dari tahanan hanya dapat diajukan sebagai upaya praperadilan jika KPK selaku penyidik telah melakukan upaya paksa berupa tindakan penahanan terhadap Setya Novanto.

"Lingkup kewenangan praperadilan secara limitatif telah ditentukan dalam Pasal 1 Angka 10 jo Pasal 77 KUHAP dan berdasarkan putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 lingkup kewenangan mencakup juga praperadilan mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan," tuturnya.

Kemudian, kata Setiadi, bahwa dikarenakan permohonan praperadilan diajukan terhadap upaya paksa yang dilakukan KPK sebagai penyidik, maka secara logis permohonan praperadilan seharusnya hanya dapat diajukan setelah KPK selaku penyidik melakukan upaya paksa terhadap diri Setya Novanto.

"Faktanya sampai dengan disidangkannya permohonan praperadilan aquo, termohon belum melakukan upaya paksa apapun terhadap diri pemohon baik berupa penangkapan, penahanan, pemasukan rumah, penyitaan atau penggeledahan terhadap diri pemohon," ucap Setiadi.

Sebelumnya, dalam dalil permohonan dan petitum praperadilan yang diajukan pemohon disebutkan bahwa jika ternyata dalam proses pengajuan praperadilan ini termohon menunjukkan sifat arogansinya dan melakukan perbuatan sewenang-wenang dengan menahan pemohon, maka dengan dinyatakannya tidak sah penetapan tersangka dan penyidikan terhadap pemohon oleh termohon, maka diperintahkan kepada termohon untuk mengeluarkan pemohon dari tahanan tersebut segera sejak putusan dalam perkara ini diucapkan.

Selanjutnya, memerintahkan termohon untuk mengeluarkan pemohon dari tahanan apabila pemohon berada di dalam tahanan sejak putusan dalam perkara ini diucapkan.

KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) tahun 2011-2012 pada Kemendagri pada 17 Juli 2017.

Setya Novanto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri.

Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.