Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan jawaban atas permohonan praperadilan yang diajukan Ketua DPR RI Setya Novanto, tersangka kasus korupsi proyek KTP-e pada Kementerian Dalam Negeri tahun 2011-2012.

"Tadi sebagian dalil atau bukti yg kami bacakan sudah jelas, runut, transparan, dan berdasarkan alat bukti yang sah. Berdasarkan penjelasan yang kami bacakan, kami berkeyakinan bahwa dalil-dalil dalam penetapan pemohon sebagai tersangka sudah memenuhi syarat dan bukti cukup," kata Kepala Biro Hukum KPK Setiadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui hakim tunggal Cepi Iskandar menggelar sidang lanjutan praperadilan Setya Novanto dengan agenda pembacaan jawaban dari pihak termohon dalam hal ini KPK.

Dalam jawaban KPK itu, KPK menjelaskan bagaimana runut kronologis peran dari Setya Novanto jauh sebelum proyek itu dilaksanakan yaitu tahun 2010, 2011, dan 2012 bahkan pasca ditetapkannya proyek itu sebagai bagian dari proyek multiyears.

"Kami juga sudah menjelaskan jumlah uang atau kerugian yang sudah ditetapkan BPKP dalam proyek KTP-e ini," ucap Setiadi.

Ia juga menegaskan bahwa pada 2011-2012 KPK sudah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap beberapa tersangka, yaitu Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong

"Dalam surat perintah penyidikan itu disebutkan "dan kawan-kawan", artinya tidak hanya tiga orang itu. Apakah ada tersangka lain setalah tiga orang itu kan sekarang sudah ada penetapan tersangka terhadap pemohon. Untuk yang lain tinggal tunggu informasi dari penyidik atau pimpinan," kata Setiadi.

Sidang praperadilan Setya Novanto untuk sementara diskors dan dilanjutkan kembali pada pukul 13.30 WIB dengan agenda melanjutkan kembali jawaban dari pihak termohon.

KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) tahun 2011-2012 pada Kemendagri pada 17 Juli 2017.

Setya Novanto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri.

Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.