Jakarta (ANTARA News) - Dana dari saldo uang elektronik (e-money) bisa saja digunakan di instrumen perbankan jangka pendek, namun berisiko untuk digunakan perbankan dalam menyalurkan kredit, kata pejabat Bank Sentral.

"Kita tidak menyarankan itu di kredit karena miss-match. Harus ditaruh di jangka pendek," kata Kepala Pusat Program Transformasi Bank Indonesia Onny Widjanarko di Jakarta, Selasa.

Meskipun bisa digunakan di instrumen jangka pendek, Onny mengatakan hingga kini rata-rata perbankan belum banyak menerima keuntungan dari penggunaan uang elektronik oleh masyarakat.

Pasalnya, diklaim Onny, volume dan saldo transaksi uang elektronik di Indonesia masih minim, ketimbang biaya investasi yang dikeluarkan perbankan untuk pengadaannya dan pemeliharaannya.

Selain itu sifat saldo uang elektronik yang merupakan kewajiban segera dari perbankan juga membuat bank tidak leluasa memanfaatan dana saldo uang elektronik.

"Itu cepat sekali habis kan. Misalnya kita isi Rp100 ribu, dalam sembilan hari itu sudah habis," ujar dia.

Secara akuntansi perbankan, saldo uang elektronik juga tidak bisa dihitung sebagai Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan, namun hanya bisa dianggap sebagai dana murah.

"Kalau banknya pintar tidak akan ditaruh di kredit," ujar dia.

Instrumen jangka pendek, antara lain, instrumen perbankan di pasar uang yang bertenor "overnight" (satu malam).

Sementara itu, Presdir PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengaku bisnis e-money belum memberikan keuntungan bagi perusahaan.

Dia mengaku BCA justru menyubsidi "e-money" tersebut hanya demi menjaga dan meningkatkan pelayanan dan produk yang dimilikinya.

Saat ini, ujarnya, BCA berhasil menjual uang elektronik yang bernama "Flazz" sebanyak 13 juta kartu. Hanya saja dari 13 juta kartu tersebut tidak lebih dari 5 juta kartu yang memiliki saldo di dalamnya.

Saldo yang ada di seluruh Flazz BCA tersebut, ditegaskan Jahja, rata-rata hanya Rp40 ribu per kartu. Dari total itu, total dana endapan yang menjadi potensi BCA hanya sebesar Rp200 miliar. Sementara di sisi lain, BCA setiap tahunnya harus mengeluarkan biaya pemeliharaan uang elektronik sebanyak Rp80 miliar.

"Sementara dari endapan Rp200 miliar itu kita bisa cari spread 6-7 persen atau sekitar Rp15 miliar, jadi ada spread di situ yang selama ini kita tanggung," ujar dia.

Namun begitu, Jahja mengatakan akan tetap mendukung upaya pemerintah dan Bank Indonesia dalam menggalakkan penggunaan uang elektronik.