ASEAN Para Games - Dulu malu keluar rumah, kini berkalung medali emas
19 September 2017 16:57 WIB
Pelari difabel Indonesia, Nur Ferry Pradana, berpose dengan medali emas yang diraihnya dalam ASEAN Para Games 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (19/9/2017). (ANTARA/Michael Siahaan)
Kuala Lumpur (ANTARA News) - Lahir lalu bertumbuh dengan tangan yang kaku juga tidak bertumbuh dan berfungsi sempurna pernah membuat Nur Ferry Pradana, atlet lari Indonesia peraih medali emas ASEAN Para Games ke-9, Kuala Lumpur, Malaysia, malu keluar rumah.
"Itu ketika masih sekolah dasar. Banyak anak-anak yang mengejek saya," ujar Nur Ferry ketika ditemui di Stadion Bukit Jalil, Malaysia, Selasa.
Beruntung, Nur Ferry memiliki keluarga yang begitu mendukungnya. Ayah, Ibu dan adiknya selalu menjadi tempat berlindung paling kokoh di saat ada pihak-pihak yang menyudutkan hanya karena fisiknya "berbeda" dari kebanyakan orang.
Kepercayaan diri yang terus dipompakan ke dirinya, ditambah dukungan dari pihak sekolah, membuat Nur Ferry perlahan-lahan bangkit.
Pandangan-pandangan sepele, tanggapan-tanggapan meremehkan ditelannya mentah-mentah. Sebagai seorang bocah, mentalnya pun semakin terasah dan tidak pernah minder lagi setelahnya meski berada di tengah orang-orang "normal".
"Saya selalu bersekolah di sekolah biasa. Terakhir saya menempuh pendidikan di SMK Negeri 3 Tenggarong. Pandangan sebelah mata orang-orang berubah seiring prestasi yang saya dapatkan," kata atlet kelahiran 7 Desember 1995 itu.
Terlepas dari kondisi tangannya, bakat lari yang mengalir dalam dirinya kemudian membawa Nur Ferry masuk ke Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI), sebelum kemudian dia dilirik oleh Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Kalimantan Timur.
NPC pun meminta Nur Ferry untuk turun di Pekan Paralimpik Provinsi (Peparprov) di Samarinda, Kalimantan Timur, tahun 2015.
"Di sana saya berhasil mendapatkan tiga medali emas. Kemudian, tahun 2016, saya saya ikut di Pekan Paralimpik Nasional ke-15 di Bandung dan memperoleh satu medali emas beserta dua medali perak," kata anak pertama dari dua bersaudara ini.
Sinar Nur Ferry semakin terang setelah pemerintah memanggilnya untuk ikut ke dalam pemusatan latihan nasional kontingen Indonesia yang akan berkompetisi di ASEAN Para Games ke-9 tahun 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Baru pertama kali ikut ASEAN Para Games, Nur Ferry langsung ditargetkan emas. Alih-alih beban, dia menyebut target itu memberikan motivasi tambahan pada dirinya.
"Saya ingin membuktikan diri melalui prestasi. Jadi apapun yang diminta pelatih, saya akan berusaha keras mencapainya," tutur dia.
Target itu pun tercapai sudah. Nur Ferry Pradana yang bertanding di nomor lari 400 meter T47 putra berhasil mempersembahkan medali emas kelima pada siang itu dengan waktu 50,49 detik.
Atlet asal Tenggarong, Kalimantan Timur ini menghentikan perlawanan atlet Filipina Arman Dino yang memperoleh medali perak dengan catatan waktu 52,77 detik dan Yamee Sutata dari Thailand dengan waktu 53,38 detik.
"Medali emas ini untuk negara, keluarga, pelatih dan teman-teman. Terutama keluarga, yang selalu melindungi dan mendidik sehingga saya bisa mandiri. Ke depan, saya ingin tampil di Asian Games 2018 di Indonesia dan mudah-mudahan bisa ke Paralimpiade tahun 2020 di Tokyo," tutur Nur Ferry, yang mengaku sudah memiliki seorang kekasih nan jelita.
"Itu ketika masih sekolah dasar. Banyak anak-anak yang mengejek saya," ujar Nur Ferry ketika ditemui di Stadion Bukit Jalil, Malaysia, Selasa.
Beruntung, Nur Ferry memiliki keluarga yang begitu mendukungnya. Ayah, Ibu dan adiknya selalu menjadi tempat berlindung paling kokoh di saat ada pihak-pihak yang menyudutkan hanya karena fisiknya "berbeda" dari kebanyakan orang.
Kepercayaan diri yang terus dipompakan ke dirinya, ditambah dukungan dari pihak sekolah, membuat Nur Ferry perlahan-lahan bangkit.
Pandangan-pandangan sepele, tanggapan-tanggapan meremehkan ditelannya mentah-mentah. Sebagai seorang bocah, mentalnya pun semakin terasah dan tidak pernah minder lagi setelahnya meski berada di tengah orang-orang "normal".
"Saya selalu bersekolah di sekolah biasa. Terakhir saya menempuh pendidikan di SMK Negeri 3 Tenggarong. Pandangan sebelah mata orang-orang berubah seiring prestasi yang saya dapatkan," kata atlet kelahiran 7 Desember 1995 itu.
Terlepas dari kondisi tangannya, bakat lari yang mengalir dalam dirinya kemudian membawa Nur Ferry masuk ke Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI), sebelum kemudian dia dilirik oleh Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Kalimantan Timur.
NPC pun meminta Nur Ferry untuk turun di Pekan Paralimpik Provinsi (Peparprov) di Samarinda, Kalimantan Timur, tahun 2015.
"Di sana saya berhasil mendapatkan tiga medali emas. Kemudian, tahun 2016, saya saya ikut di Pekan Paralimpik Nasional ke-15 di Bandung dan memperoleh satu medali emas beserta dua medali perak," kata anak pertama dari dua bersaudara ini.
Sinar Nur Ferry semakin terang setelah pemerintah memanggilnya untuk ikut ke dalam pemusatan latihan nasional kontingen Indonesia yang akan berkompetisi di ASEAN Para Games ke-9 tahun 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Baru pertama kali ikut ASEAN Para Games, Nur Ferry langsung ditargetkan emas. Alih-alih beban, dia menyebut target itu memberikan motivasi tambahan pada dirinya.
"Saya ingin membuktikan diri melalui prestasi. Jadi apapun yang diminta pelatih, saya akan berusaha keras mencapainya," tutur dia.
Target itu pun tercapai sudah. Nur Ferry Pradana yang bertanding di nomor lari 400 meter T47 putra berhasil mempersembahkan medali emas kelima pada siang itu dengan waktu 50,49 detik.
Atlet asal Tenggarong, Kalimantan Timur ini menghentikan perlawanan atlet Filipina Arman Dino yang memperoleh medali perak dengan catatan waktu 52,77 detik dan Yamee Sutata dari Thailand dengan waktu 53,38 detik.
"Medali emas ini untuk negara, keluarga, pelatih dan teman-teman. Terutama keluarga, yang selalu melindungi dan mendidik sehingga saya bisa mandiri. Ke depan, saya ingin tampil di Asian Games 2018 di Indonesia dan mudah-mudahan bisa ke Paralimpiade tahun 2020 di Tokyo," tutur Nur Ferry, yang mengaku sudah memiliki seorang kekasih nan jelita.
Pewarta: Michael Siahaan
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017
Tags: