Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyebut tindakan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengadukannya ke Majelis Kehormatan Dewan karena mengirim surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan langkah "salah alamat".

"Saya kira salah alamat ya, banyak orang berkomentar tentang surat itu namun tidak pernah baca suratnya, sehingga yang diproduksi dan direproduksi adalah berita-berita hoax," kata Fadli di Gedung Nusantara III, kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.

Fadli menjelaskan surat yang dikirimkan ke KPK tidak meminta penundaan pemeriksaan Setya Novanto namun hanya menyampaikan aspirasi masyarakat, dan ditulis seperti terusan surat-surat aspirasi rakyat ke beberapa lembaga.

"Tidak pernah saya meminta menunda pemeriksaan kepada aparat penegak hukum. Isinya meneruskan surat aspirasi," katanya.

Politisi Partai Gerindra itu mengakui surat yang dia tandatangani tidak diketahui oleh pemimpin DPR yang lain. Namun menurut dia itu bukan masalah karena masing-masing pemimpin DPR tidak harus mengetahui surat yang disampaikan pemimpin lain kepada kementerian atau lembaga.

"Terkait surat yang saya kirimkan, saya diskusikan dengan yang lain namun sesuai domainnya bidang masing-masing pimpinan DPR. Kalau saya tidak melakukan itu, saya diskriminatif?" katanya.

Fadli Zon sebelumnya mengakui bahwa dia menandatangani surat permintaan penundaan pemeriksaan Ketua DPR Setya Novanto yang ditujukan ke pemimpin KPK atas permintaan Setya Novanto.

"Saya hanya meneruskan aspirasi saja, jadi itu permintaan Novanto," kata Fadli di Gedung Nusantara III, Jakarta, Rabu.

Menurut dia, seluruh Pimpinan DPR mengetahui surat permintaan dari Novanto tersebut dan meneruskannya kepada dirinya karena merupakan Wakil Ketua DPR bidang Politik dan Keamanan.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman melaporkan Fadli Zon ke MKD dengan tuduhan melakukan pelanggaran kode etik karena mengirim surat ke KPK berisi permintaan penundaan pemeriksaan Setya Novanto dalam perkara dugaan korupsi KTP Elektronik.

MAKI menduga pelanggaran tersebut terkait penyalahgunaan wewenang untuk melakukan intervensi proses penegakan hukum. Perbuatan tersebut menurut Boyamin tidak patut dan merendahkan harkat martabat lembaga DPR.