Jakarta (ANTARA News) - Presiden Jokowi saat menyampaikan sikap resmi pemerintah RI pada Minggu (3/9) atas tragedi kemanusiaan yang menimpa masyarakat Muslim etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar, menyerukan perlu aksi nyata, tidak hanya dengan kecaman.

Pemerintah RI berkomitmen terus membantu mengatasi krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya, bersinergi dengan kekuatan masyarakat sipil di Indonesia dan masyarakat internasional.

Pada Senin ini, Menlu Retno LP Marsudi, yang ditugaskan oleh Presiden Jokowi, sudah berada di Naypyidaw, ibu kota Myanmar, dijadwalkan bertemu dengan Menlu merangkap Konselor Negara Republik Persatuan Myanmar Aung San Suu Kyi yang juga pemimpin Partai Liga Demokrasi Nasional, partai mayoritas parlemen Myanmar, untuk mengatasi persoalan yang terus menerus berulang itu.

Itu menjadi pertemuan ketiga sejak pertemuan Retno dan Suu Kyi di Myanmar pada tanggal 6 dan 19 Desember 2016.

Dalam rangkaian KTT ke-30 ASEAN di Manila, Filipina, pada 29 April 2017, Retno juga mendampingi Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan Suu Kyi membahas hubungan bilateral dan upaya perdamaian sekaligus pembangunan rumah sakit di Rakhine. Indonesia telah mendirikan enam sekolah di Rakhine, dan juga membantu bahan pangan serta obat-obatan. Pemerintah juga mulai membangun rumah sakit yang cukup besar di Rakhine.

Menlu juga telah berkomunikasi membicarakan soal Rohingya dengan sejumlah pihak seperti Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Gutteres, Menlu Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, Menlu Turki Mevlut Cavusoglu, mantan Sekjen PBB Kofi Annan selaku Ketua Komisi Penasehat untuk Negara Bagian Rakhine yang dibentuk Suu Kyi pada 23 Agustus 2016, dan pimpinan Ormas Islam di Indonesia.

Dunia internasional termasuk Indonesia mengecam kekerasan yang dialami penduduk etnis Rohingya yang menewaskan ratusan warga dan mengakibatkan puluhan ribu jiwa mengungsi sejak beberapa pekan terakhir ini, mengulangi kembali kekerasan atas mereka yang sebelumnya terjadi pada tahun 2012.

Rohingya merupakan kelompok etnis Muslim asli yang menetap di wilayah Arakan sejak abad XVI. Wilayah tersebut saat ini menjadi bagian dari Negara Bagian Rakhine, wilayah Myanmar Barat yang berbatasan langsung dengan Bangladesh.

Istilah Rohingya berasal dari kata Rohai atau Roshangee yang berarti penduduk muslim Rohang atau Roshang (sebutan untuk daerah tersebut sebelum dinamai Arakan).

Sejak sebelum kemerdekaan Myanmar, etnis Rohingya telah berkali-kali berusaha disingkirkan dari wilayahnya. Pemerintah Myanmar hingga kini tidak mengakui masyarakat etnis Rohingya sebagai warga negaranya.

Tahun 1942 terjadi pembantaian atas Muslim Rohingya yang menewaskan sekitar 100 ribu jiwa dan ribuan desa hancur.

Pada 1948, Myanmar merdeka dari penjajahan Inggris Raya. Kemerdekaan itu tidak membawa hasil baik bagi masyarakat etnis Rohingya karena mereka tetap disisihkan. Pada 1978 terjadi intimidasi melalui operasi Raja Naga terhadap etnis Rohingya untuk keluar dari wilayah Arakan (kini Rakhine) sehingga sekitar 200 ribu orang mengungsi ke Bangkaldesh.

Dalam sensus pertama pada 1982, Rohingya tidak diakui sebagai bagian dari 135 kelompok etnis resmi Myanmar. Demikian pula setelah 30-an tahun, pada sensus kedua pada 30 Maret - 10 April 2014, tidak mendata masyarakat etnis Muslim Rohingya. Dalam sensus itu, dicantumkan kode nomor etnis yang resmi diakui pemerintah tanpa etnis Rohingya.

Sensus tahun 2014 itu antara lain menghasilkan bahwa jumlah penduduk Myanmar berjumlah 50,27 juta jiwa. Dari jumlah penduduk sebanyak itu terdapat 89,8 persen penduduk beragama Buddha, 6,3 persen penduduk beragama Kristen, 2,3 persen Islam, 0,5 persen Hindu, 0,8 persen animisme, 0,2 persen agama lain, dan 0,1 persen tanpa agama.

Mereka tersebar di tujuh wilayah (region) dan tujuh negara bagian (state). Ketujuh wilayah di Myanmar adalah Ayeyarwady, Bago, Magway, Mandalay (termasuk Naypyidaw sebagai ibu kota negara), Sagaing, Tanintharyi, dan Yangon. Sementara ketujuh negara bagian adalah Chin, Kachin, Kayin (Karen), Kayah (Karenni), Mon, Rakhine (Arakan), dan Shan.

Penduduk Myanmar yang beragama Islam sebesar 2,3 persen dari total penduduk Myanmar itu tersebar di seluruh wilayah dan negara bagian. Namun mereka bukan berasal dari Muslim Rohingya karena pemerintah Myanmar tidak mendata etnis Muslim Rohingya.

Kekerasan atas Rohingya terus terjadi. Pada era 1990-an, sekitar 200 ribu warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh dipulangkan paksa oleh otoritas Bangladesh.

Pada tahun 2012, muncul gerakan "Rohingya Elimination Group" yang didalangi oleh Gerakan 969, sebuah organisasi penganut Buddha Myanmar yang memerangi umat Islam.

Dalam catatan Lembaga Kemanusiaan Global Aksi Cepat Tanggap (ACT), konflik yang pecah tahun 2012 memakan 200 jiwa dan 140 ribu warga Rohingya lainnya dipaksa tinggal di kamp-kamp konsentrasi yang tidak manusiawi. Menurut sebuah studi oleh International State Crime Initiative (ISCI) dari Queen Mary University of London, Rohingya sudah mulai memasuki tahap akhir genosida yaitu pemusnahan massal dan penghilangan dari sejarah. PBB juga menyebut Rohingya sebagai kelompok etnis paling teraniaya di dunia.

Sejauh ini jumlah populasi etnis Rohingya di Rakhine semakin menurun drastis hingga menjadi 40 persen dibanding tahun sebelumnya. Populasi Rohingya menurut Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) ialah 1,3 juta orang, terdiri atas 926 ribu orang yang tidak memiliki kewarnegaraan dan sekitar 375 ribu orang lainnya menjadi pengungsi di negara mereka sendiri.


Lari ke Indonesia

Sejak tahun 2013, ribuan warga Rohingya melarikan diri ke negara-negara Indonesia, Malaysia, dan Thailand melalui jalur laut. Pria, wanita, dan anak-anak terkatung-katung di dalam kapal tanpa kejelasan apakah daratan yang mereka tuju bersedia menerima mereka. Salah satu pengungsian warga Rohingya di Indonesia dibangun oleh Yayasan ACT berlokasi di Blang Adoe, Aceh Utara.

Pemerintah RI telah memberikan bantuan kemanusiaan untuk Rohingya. Presiden Jokowi misalnya pada 29 Desember 2016 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, telah memeriksa empat dari 10 kontainer bantuan kemanusiaan Indonesia untuk masyarakat etnis Rohingya, yang hari itu dikirim. Kontainer-kontainer itu antara lain berisi mie instan, tepung gandum, makanan balita, dan sarung.

Pengapalan bantuan kemanusiaan tersebut merupakan tindak lanjut dari komunikasi pemerintah Indonesia dengan Myanmar mengenai pentingnya akses bantuan kemanusiaan ke Rakhine. Bantuan kemanusiaan tersebut diperuntukkan bagi komunitas Muslim dan pihak lain yang membutuhkan di Rakhine.

Indonesia telah menyampaikan keprihatinannya terhadap memburuknya situasi keamanan dan kemanusiaan di Rakhine. Indonesia juga telah menyampaikan agar dalam upaya mengembalikan keamanan dan meneruskan pembangunan ekonomi di Rakhine maka prinsip perlindungan, penghormatan terhadap HAM dan pendekatan pembangunan yang inklusif perlu diutamakan.

Mesin diplomasi Indonesia telah bekerja dan hadir tanpa menggunakan "megaphone diplomacy". Pendekatan konstruktif diutamakan agar aspek kemanusiaan dapat segera ditangani dan rencana jangka panjang dapat dirancang secara berkelanjutan.

Komunikasi intensif terus dilakukan dengan Pemerintah Myanmar. Beberapa titik komunikasi penting antara lain pertemuan Retno dan Suu Kyi di Myanmar pada 6 Desember 2016, Jokowi dengan Kofi Annan 9 Desember 2016 di Bali, retreat Menlu ASEAN pada 19 Desember 2016 di Yangon dan pertemuan kembali Retno dan Suu Kyi pada 19 Desember 2016 di Myanmar, atas tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 9 Oktober 2016.

Selain aksi nyata yang dilakukan pemerintah RI, berbagai organisasi juga membuat aksi serupa untuk turut membantu mengatasi masalah kemanusiaan di Rakhine, Myanmar.

Saat ini Muslim Rohingya yang masih berada di Rakhine hidup terisolasi dalam ketakutan sejak kekerasan meledak kembali pada 25 Agustus 2017.

Yayasan ACT, misalnya, menyelenggarakan Program "Lets Help Rohingya" dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyalurkan donasi melalui

BNI/BNI Syariah dengan nomor rekening 6600005005, Bank Muamalat nomor rekening 3040031870, Bank Mandiri 1640000965576, dan BCA ke nomor rekening 6760302021 atas nama Yayasan Aksi Cepat Tanggap.

Penggalangan dana juga dilakukan oleh ACT bersama Masyarakat Relawan Indonesia dan SOS (Symphaty of Solidarity) Rohingya. Sejak beberapa tahun terakhir ini mereka telah menyalurkan berbagai bantuan dari donasi masyarakat, mengirimkan para relawan ke Rakhine dan ke tempat pengungsian di Blang Adoe untuk memberikan program pemberdayaan dan keterampilan kerja.

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil juga telah melakukan penggalangan dana melalui jajarannya hingga lurah dan masyarakat selama tujuh hari. Dana yang terkumpul bakal disalurkan melalui Yayasan ACT.

Aksi nyata dalam menunjukkan solidaritas untuk Rohingya tampaknya memang sangat dibutuhkan.

(T.B009/A011)