Perubahan iklim membuat ratusan ton ikan mati di Cianjur
30 Agustus 2017 16:00 WIB
Ilustrasi - Nelayan keramba memberi makan ikan yang dipelihara dalam keramba miliknya di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jabar. (ANTARA FOTO/Saptono)
Cianjur (ANTARA News) - Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Cianjur, Jawa Barat, mencatat penyebab matinya ratusan ton ikan di Waduk Jangari, Kecamatan Mande akibat perubahan iklim, virus dan bakteri.
Kepala Seksi Bina Kesehatan Ikan dan Hewan Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Cianjur, Agung Riyanto di Cianjur, Rabu, mengatakan, penyebaran penyakit pada ikan di wilayah tersebut, didominasi bakteri Aeromonas Hydophila, White Spot Virus dan Koi Herves Virus.
"Penyakit tersebut biasanya timbul karena perubahan iklim dan kondisi air yang sudah tercemar limbah. Untuk mengatasi penyebarannya dapat dilakukan dengan pemberian vitamin C serbuk yang dicampur pakan ikan agar kondisi ikan sehat kembali," katanya.
Selama ini, tutur dia, petani pembudi daya ikan sudah bisa mengantisipasi berbagai jenis penyakit yang menyerang komoditas ikan air tawar itu. Ketika terjadi musim pancaroba, petani ikan akan mengganti dengan jenis ikan yang lebih tahan terhadap penyakit dan sanggup bertahan pada oksigen rendah.
Dia menjelaskan, produksi ikan air tawar di Cianjur, untuk jenis ikan mas sebanyak 25.236,65 ton, ikan nila sebanyak 10.550,21 ton, ikan bawal sebanyak 13.404,77 ton dan ikan lainnya sebanyak 292,23 ton.
Seperti diberitakan, ratusan petani jaring terapung di Waduk Jangari, Kecamatan Mande merugi hingga ratusan juta rupiah karena ikan yang mereka budidayakan mati mendadak. Kematian massal ratusan ton ikan diduga akibat perubahan cuaca.
"Ikan mengalami kekurangan oksigen karena terjadi arus balik dari dasar air atau upwelling. Perubahan cuaca membuat air waduk bercampur dengan air hujan sehingga oksigen untuk ikan berkurang," kata Taryana (43) pemilik haring terapung.
Akibatnya petani ikan yang berada di wilayah Blok Patok Besi, Blok Maleber dan Blok Sangkali di wilayah Kecamatan Cikalongkulon dan Blok Nenggang dan Blok Ciputri, Kecamatan Mande, tidak dapat menjual ikannya karena jauh di bawah standar.
"Untuk menghindari kerugian yang lebih besar, petani terpaksa memanen ikan yang masih hidup lebih awal meskipun ukuranya tidak sesuai. Sudah pasti harganya menjadi murah, tapi daripada rugi mau bagaimana lagi," katanya.
Kepala Seksi Bina Kesehatan Ikan dan Hewan Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Cianjur, Agung Riyanto di Cianjur, Rabu, mengatakan, penyebaran penyakit pada ikan di wilayah tersebut, didominasi bakteri Aeromonas Hydophila, White Spot Virus dan Koi Herves Virus.
"Penyakit tersebut biasanya timbul karena perubahan iklim dan kondisi air yang sudah tercemar limbah. Untuk mengatasi penyebarannya dapat dilakukan dengan pemberian vitamin C serbuk yang dicampur pakan ikan agar kondisi ikan sehat kembali," katanya.
Selama ini, tutur dia, petani pembudi daya ikan sudah bisa mengantisipasi berbagai jenis penyakit yang menyerang komoditas ikan air tawar itu. Ketika terjadi musim pancaroba, petani ikan akan mengganti dengan jenis ikan yang lebih tahan terhadap penyakit dan sanggup bertahan pada oksigen rendah.
Dia menjelaskan, produksi ikan air tawar di Cianjur, untuk jenis ikan mas sebanyak 25.236,65 ton, ikan nila sebanyak 10.550,21 ton, ikan bawal sebanyak 13.404,77 ton dan ikan lainnya sebanyak 292,23 ton.
Seperti diberitakan, ratusan petani jaring terapung di Waduk Jangari, Kecamatan Mande merugi hingga ratusan juta rupiah karena ikan yang mereka budidayakan mati mendadak. Kematian massal ratusan ton ikan diduga akibat perubahan cuaca.
"Ikan mengalami kekurangan oksigen karena terjadi arus balik dari dasar air atau upwelling. Perubahan cuaca membuat air waduk bercampur dengan air hujan sehingga oksigen untuk ikan berkurang," kata Taryana (43) pemilik haring terapung.
Akibatnya petani ikan yang berada di wilayah Blok Patok Besi, Blok Maleber dan Blok Sangkali di wilayah Kecamatan Cikalongkulon dan Blok Nenggang dan Blok Ciputri, Kecamatan Mande, tidak dapat menjual ikannya karena jauh di bawah standar.
"Untuk menghindari kerugian yang lebih besar, petani terpaksa memanen ikan yang masih hidup lebih awal meskipun ukuranya tidak sesuai. Sudah pasti harganya menjadi murah, tapi daripada rugi mau bagaimana lagi," katanya.
Pewarta: Ahmad Fikri
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017
Tags: