LPSK jelaskan soal "rumah aman" ke Pansus Angket KPK
28 Agustus 2017 12:29 WIB
Arsip Foto. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pertemuan untuk membicarakan saksi kasus korupsi di gedung KPK Jakarta, Kamis (3/11/2016).(ANTARA/Wahyu Putro A)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menjelaskan bahwa Undang-Undang No.31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan salah satu kewenangan lembaganya adalah mengelola rumah aman bagi saksi dan korban.
Sebelum menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia Khusus Hak Angket di Gedung Nusantara di kompleks parlemen, Jakarta, Senin, Abdul Haris mengatakan dia belum menemukan aturan eksplisit yang menyebut mengenai lembaga lain yang punya kewenangan mengelola rumah aman dalam undang-undang itu.
Undang-Undang No.31/2014, menurut dia, secara jelas menyebut kewenangan LPSK dalam mengelola rumah aman, khususnya dalam tindak pidana tertentu seperti korupsi.
"Yang jelas dalam UU 31/2014 mengatur hak saksi ditempatkan di rumah aman dan LPSK diberikan hak mengelola. Kalau ada institusi lain yang mengacu UU berbeda, ya saya tidak tahu," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa penempatan saksi kasus korupsi di rumah aman biasanya dilakukan berdasarkan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan permintaan yang disampaikan ke LPSK melalui pengacara atau keluarga yang saksi atau korban.
Meski demikian, menurut dia, LPSK sering "jemput bola" dengan menawarkan perlindungan kepada saksi atau korban, biasanya dalam kasus yang sedang menjadi sorotan publik.
"Mereka banyak yang kemudian mengikuti saran kita sehingga potensi ancaman mereka tidak terjadi," katanya.
Dia menjelaskan rumah aman yang berada di bawah kewenangan LPSK sifatnya independen dan dikelola sesuai aturan internal.
Ia menambahkan koordinasi LPSK dengan KPK lebih kepada saksi atau justice collaborator kasus tindak pidana korupsi.
Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Tugas dan Kewenangan KPK akan memanggil LPSK pada Senin untuk meminta penjelasan mengenai hubungan kelembagaan dan pelaksanaan perlindungan saksi dan korban dengan KPK menurut surat undangan Pansus yang dikirimkan kepada kedua institusi tersebut.
(Baca: Kini Pansus KPK panggil LPSK)
Sebelum menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia Khusus Hak Angket di Gedung Nusantara di kompleks parlemen, Jakarta, Senin, Abdul Haris mengatakan dia belum menemukan aturan eksplisit yang menyebut mengenai lembaga lain yang punya kewenangan mengelola rumah aman dalam undang-undang itu.
Undang-Undang No.31/2014, menurut dia, secara jelas menyebut kewenangan LPSK dalam mengelola rumah aman, khususnya dalam tindak pidana tertentu seperti korupsi.
"Yang jelas dalam UU 31/2014 mengatur hak saksi ditempatkan di rumah aman dan LPSK diberikan hak mengelola. Kalau ada institusi lain yang mengacu UU berbeda, ya saya tidak tahu," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa penempatan saksi kasus korupsi di rumah aman biasanya dilakukan berdasarkan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan permintaan yang disampaikan ke LPSK melalui pengacara atau keluarga yang saksi atau korban.
Meski demikian, menurut dia, LPSK sering "jemput bola" dengan menawarkan perlindungan kepada saksi atau korban, biasanya dalam kasus yang sedang menjadi sorotan publik.
"Mereka banyak yang kemudian mengikuti saran kita sehingga potensi ancaman mereka tidak terjadi," katanya.
Dia menjelaskan rumah aman yang berada di bawah kewenangan LPSK sifatnya independen dan dikelola sesuai aturan internal.
Ia menambahkan koordinasi LPSK dengan KPK lebih kepada saksi atau justice collaborator kasus tindak pidana korupsi.
Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Tugas dan Kewenangan KPK akan memanggil LPSK pada Senin untuk meminta penjelasan mengenai hubungan kelembagaan dan pelaksanaan perlindungan saksi dan korban dengan KPK menurut surat undangan Pansus yang dikirimkan kepada kedua institusi tersebut.
(Baca: Kini Pansus KPK panggil LPSK)
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017
Tags: