Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyiapkan sebanyak dua kandidat laboratorim acuan Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) di bidang kesehatan ikan sebagai acuan internasional.

"Dukungan OIE untuk Indonesia dalam memfasilitasi dua laboratorium milik KKP sebagai acuan internasional akan memberikan dampak yang sangat positif bagi peningkatan daya saing produk perikanan budi daya khususnya ikan hias koi dan udang di pasar global," kata Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.

Menurut Slamet Soebjakto, OIE tentunya juga telah mempertimbangkan bahwa sebagai negara produsen perikanan budi daya terbesar ke dua dunia, Indonesia memiliki peran strategis dalam menopang ketahanan pangan global di masa mendatang.

Kedua laboratorium tersebut adalah Laboratorum Kesehatan Ikan pada Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi sebagai laboratorium acuan OIE untuk deteksi penyakit Koi Hervest Virus (KHV), dan Laboratorium Kesehatan Ikan pada Balai Perikanan Budi daya Air Payau (BPBAP) Situbondo untuk rujukan penyakit udang.

OIE memfasilitasi kedua laboratorium tersebut melalui "Twinning Program", seperti untuk uji KHV, BPBAT Sukabumi bekerja sama dengan National Research Institute of Aquaculture Fisheries Research Agency (MIE-Jepang) sebagai laboratorium induk.

Sedangkan untuk penyakit udang BPBAP Situbondo bekerja sama dengan Laboratorium akuakultur Universitas Arizona, Amerika Serikat sebagai laboratorium induk.

Sebagaimana diketahui, OIE adalah organisasi dunia yang mengurusi kesehatan hewan dunia, baik hewan akuatik ataupun teresterial/daratan, yang beranggotakan 181 negara dengan kantor pusat di Paris.

Slamet menuturkan, ada beberapa keuntungan yang dapat dipetik Indonesia jika kedua laboratorium ini menjadi acuan OIE antara lain laboratorium akan terstandar secara internasional, sehingga tingkat presisi pengujian sangat tinggi.

Selain itu, ujar dia, keberadaan laboratorium dapat mengurangi risiko penyebaran penyakit di lintas batas ke negara lain.

Sementara keberadaan tersebut juga dinilai akan dapat memfasilitasi akses perdagangan internasional, misalnya Indonesia dapat mengeluarkan sertifikat bebas KHV dan penyakit udang yang terdaftar di OIE dalam perdagangan koi dan udang dunia.

Terakhir, lanjutnya, negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik dapat juga mengambil keuntungan dengan melakukan pengujian ke laboratorium acuan di Indonesia yang lebih dekat.

Ia mengungkapkan bahwa isu penyakit dalam bisnis akuakultur telah secara nyata mengakibatkan hambatan perdagangan dalam siklus perdagangan perikanan global saat ini.

Karenanya, Slamet memaparkan setiap negara mulai memperketat persyaratan teknis terhadap lalu lintas seluruh produk perikanan budi daya. Upaya tersebut antara lain melalui penerapan analisis risiko importasi secara ketat.

Dirinya mencontohkan, fenomena merebaknya penyakit KHV pada ikan mas termasuk ikan hias koi di berbagai negara di dunia, telah secara nyata menurunkan transaksi bisnis perdagangan komoditas ikan koi di dunia termasuk Indonesia.

Berdasarkan data dari KKP, tahun 2016 volume produksi ikan hias koi nasional tercatat sebanyak 404.329.000 ekor. Angka ini diprediksi akan terus meningkat seiring upaya pemerintah yang terus mendorong penguatan daya saing usaha budi daya ikan hias nasional.