Bandung (ANTARA News) - Direktur produksi PT Dirgantara Indonesia, Arie Wibowo mengatakan N219 memiliki beberapa keunggulan dibanding pesawat sejenisnya seperti DHC-6 Twin Otter yang berasal dari Kanada.




"Kelebihan dengan Twin Otter, desain lebih baru, Twin Otter desain tahun 70-80an. Yang paling penting pesawat ini punya kemampuan low speed manuver ability. Dengan kecepatan yang rendah dia masih mampu memanuver pesawatnya," kata Budi di Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung, Rabu.





Selain itu kata Arie, N219 ini tidak terlalu membutuhkan landasan pacu yang panjang.




Untuk memulai terbang (take off) dan mendarat (landing), pesawat dengan kapastitas 19 penumpang ini hanya membutuhkan jarak lintasan 300 meter. Berbeda dengan Twin Otter yang membutuhkan jarak pacu hingga 600 meter.





Pesawat N219 ini sangat cocok untuk digunakan di wilayah perintis atau wilayah terpencil yang memiliki jarak landasan pacu yang terbatas.





"Itu sangat karakteristik di daerah timur Indonesia. Yang mampu (take off) Twin Otter, tapi kita bikin yang lebih mampu lagi," kata dia.





Dalam segi mesin, meski hampir serupa namun teknologi avionik yang dikembangkan PT DI lebih modern. Garmin G-1000 dengan Flight Management System yang ada di dalamnya sudah terdapat Global Positioning System (GPS), sistem autopilot, dan sistem tanda bahaya.





Sebelum dipasarkan, N219 harus melalui serangkaian uji coba seperti uji kelelahan atau Fatigue Test, pengembangan uji terbang, dan tes untuk mendapatkan sertifikasi dari desain manufaktur pesawat.





Sertifikat ini dikeluarkan oleh Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian, Kementerian Perhubungan. Usai mendapatkan sertifikat maka pesawat sudah siap untuk dipasarkan.





"Saat terbang semua di tes, mau dari kemampuan gimana dia belok, landing, take off, maksimum engine power, minimum power, kondisi malam, siang, hujan, kita coba. Ada angka-angka yang harus kita penuhi, untuk memenuhi persyaratan," kata dia.





Untuk sisi harga, N219 rencananya akan dibanderol sebesar enam juta dollar Amerika, sementara Twin Otter berkisar antara tujuh sampai delapan juta dollar Amerika.





Ia berharap proses uji kelaikan ini selesai tahun 2018 sehingga pada tahun 2019, pesawat sudah bisa dipasarkan.





Sementara itu, Direktur Utama PT DI Budi Santoso mengatakan pesawat ini sudah banyak diminati oleh sejumlah perusahaan. Bahkan sudah ada yang berniat memesan 50 unit pesawat N219.





Namun, ia belum berani melakukan kontrak atau penjualan, hingga pesawat tersebut sudah lolos uji serta mendapat sertifikan laik terbang dari Kemenhub selaku pemegang kewenangan.





"Jadi 50 pesawat cukup panjang (produksinya). Kita juga tanya-tanya ini (ke peminat), mau nunggu gak? Tapi ini target kami untuk membuat 24 pesawat pertahunnya. Kami juga sedang melakukan negosiasi harga," kata dia.