Jakarta (ANTARA News) - Imam asal Maroko yang ikut tewas dalam insiden ledakan di Prancis itu sudah menjadi target utama dalam penyelidikan kasus serangan teror kembar di Spanyol. Dia diduga telah menciptakan sel teror di sebuah kota kecil nan indah di sekitar Pegunungan Pirenia, Spanyol, yang dituduh telah melancarkan serangan maut pekan lalu.

Mereka yang tahu imam bernama Abdelbaki Es Satty itu mengenalnya sebagai pribadi yang bijak nan saleh yang baru beberapa hari lalu mengabarkan masjid tempat dia biasa menyampaikan khutbah bahwa dia akan pergi berlibur ke negeri asalnya Maroko demi urusan pribadi.

Kenyataannya dia malah menjadi salah seorang yang tewas dalam ledakan tak disengaja, Rabu pekan lalu, di sebuah rumah di mana para tersangka pelaku penyerangan diyakini sedang membuat bom. Polisi kemudian membenarkan dugaan ini Senin kemarin.

Ledakan tidak disengaja itu telah mengubah rencana para pelaku teror yang lalu beralih menggunakan kendaraan untuk ditabrakkan ke pejalan kaki di jalan raya terkenal di Barcelona, Las Ramblas, dan di kota kecil tepi laut, Cambrils.

"Pada Selasa pagi, dia pergi berpesan hendak berlibur ke Maroko," kata penjual buah bernama Nordeen El Haji (45) yang empat bulan lalu pindah ke apartemen yang dihuni Satty di Ripoll.

Flat dua kamar yang sudah reyot dan disewakan pada harga 150 euro (Rp2,3 juta) per bulan itu menghadap pohon yang menghalangi pemandangan Gunung Pirenia dan atap dominan merah rumah-rumah di Ripoll di Catalonia yang berjarak 90 km di utara Barcelona.

Anteng depan komputer

"Dia jarang ngobrol, menghabiskan waktu di depan komputer, dan punya ponsel tanpa sambungan internet, serta beberapa buku," kata rekan tinggal satu flat Satty itu.

Di atas potongan furnitur tergeletak surat perintah penggeledahan polisi bertanggal Jumat pekan lalu, atau beberapa jam setelah serangan teror kembar terjadi yang menewaskan 15 orang dan melukai 120 orang.

Menurut polisi, sang imam pernah dipenjara dari 2010 sampai 2014 karena kasus perdagangan narkotika.

Dia pernah punya kontak dengan seorang tersangka yang diburu dalam kaitannya dengan kasus terorisme, namun dia sendiri tidak pernah didakwa dalam insiden-insiden yang berkaitan dengan teror.

Media setempat berspekulasi tentang pengaruh sang imam kepada para pelaku serangan yang semuanya masih muda. Namun rekan-rekan satu apartemen dengannya menyatakan bahwa dalam empat bulan terakhir, sang imam tidak pernah dikunjungi anak-anak muda di apartemen itu.

"Imam ini normal dan biasa tampil di publik," kata Mohamed Akhayad, mekanik listrik asal Maroko berusia 26 tahun, yang kadang pergi ke tempat ibadah yang dibuka pada 2016 di mana si imam sering memberikan ceramah.

"Seandainya dia mencuci otak anak-anak muda ini, dia pastinya melakukannya diam-diam, di sebuah tempat rahasia," kata Akhayad di sebuah kafe Maroko di kota itu.

Sangat penyendiri

Seorang pria Maroko lainnya yang meminta namanya tidak disebutkan melukiskan sang imam sebagai orang yang sangat penyendiri dan lebih suka kumpul-kumpul dengan anak-anak muda ketimbang seusia dia.

Pria berusia 43 tahun yang meminta namanya tak disebutkan ini mengungkapkan bahwa dia kenal dengan anak-anak muda tersangka pelaku teror itu karena dialah yang mengorganisasikan pertandingan-pertandingan sepak bola untuk para pemuda itu.

"Sang imam selalu berpakaian hitam-hitam. Kami sangat jarang melihat dia ada di kafe Maroko," kata pria itu.

Di Jalan Sant Pere di mana tempat tinggal imam berada, pria berusia 64 tahun bernama Francesc Gimeno membeberkan fakta bahwa sang imam memiliki reputasi radikal.

"Dia ingin semua warga keturunan Maroko berpikiran seperti dia, menempatkan agama di atas segalanya," kata Gimeno, seraya meneruskan bahwa sang imam ingin mewajibkan semua perempuan Maroko di kota itu mengenakan hijab.

Tetapi Hammou Minhaj (30), warga keturunan Maroko yang menjabat sekretaris komunitas muslim Ripoll, memiliki kesaksian lain, bahwa "Dia tidak menyatakan hal itu di masjid. Di luar masjid, saya tak tahu."

Satty tiba di Ripoll pada 2015, kata Minhaj.

Lebih paham Alquran

Tetapi kemudian dia pergi ke Belgia sebagai imam, paling tidak menurut pengakuannya, sebelum kembali ke Ripoll, sambung Minhaj.

"Dia mulai menjadi imam di masjid baru kami pada April 2016. Yang terpenting dia itu lebih memahami Alquran ketimbang kami."

Tetapi pada akhir Juni, imam itu meminta izin untuk pergi selama tiga bulan ke Maroko untuk liburan, kata Minhaj.

Di Belgia, wali kota Vilvorde berkata kepada AFP bahwa Satty pernah menghabiskan waktu di sudut kota Brussels di Machelen antara Januari dan Maret 2016.

Sudut lainnya Brussels di Molenbeek terkenal sebagai sarang jihadis internasional setelah serangan Brussels Maret 2016 dan serangan Paris November 2015.

Di kota M'rirt di Maroko, keluarga dari pria berusia 22 tahun bernama Younes Abouyaaqoub yang diyakini polisi sebagai pengemudi van yang ditabrakkan ke pedesterian Barcelona, juga menuduh imam itu telah meradikalisasi Younes dan adiknya Houssein.

"Sekitar dua tahun terakhir, Younes dan Houssein mulai teradikalisasi karena dipengaruhi imam ini," kata kakek mereka kepada AFP.

Kemarin, polisi Spanyol menembak mati Younes di sebuah desa di sebelah barat Barcelona.

Seorang tetangga yang dekat dengan keluarga Abouyaaquob yang meminta namanya tidak disebutkan, mengatakan bahwa sang imam telah merekrut orang-orang Maroko di Ripoll dan sudah berencana melancarkan serangan.

"Dia meninggalkan masjid dengan alasan hendak kembali ke Maroko untuk menyelesaikan beberapa urusan.

"Lalu imam lain menggantikan dia di masjid itu, tetapi beberapa hari sebelum serangan itu, dia terlihat di Ripoll," sambung sumber yang juga memiliki keluarga di kota kecil di Spanyol itu seperti dikutip AFP.