Yan Chong Chao tak juga berhasil menggapai kursi di depannya karena sepatu kanannya tersangkut di permukaan batu paving setinggi setengah centimeter. Tangan kanannya memegang erat lengan istrinya.
Setelah bersusah payah melangkah, pria 80 tahun berkebangsaan Singapura itu lega bisa duduk di kursi kosong berdampingan dengan sang istri yang usianya lima tahun lebih muda dari dia.
Matanya menerawang, memandang bendera Merah-Putih berkibar tertiup angin sepoi di bawah terpaan mentari pagi yang sinarnya menerobos celah pepohonan rimbun di pinggir Jalan Raya Dongzhimen.
Perlahan dia keluarkan kamera digital dari saku celananya. Dengan keterbatasan gerak fisik yang menyertai usianya, Yan berusaha membidikkan kameranya untuk mengabadikan momen demi momen upacara peringatan Detik-Detik Proklamasi di halaman Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing, Kamis (17/8) pagi.
Istri pria yang masih mengajar di Chinese Academy of Sciences, Beijing, itu berkebangsaan Indonesia. Namanya Huang Fang Fei (75).
"Aku arek Suroboyo asli," celetuk Huang yang sedari tadi duduk terdiam di samping Yan, suaminya.
"Bagaimana ya keadaan Sawahan sekarang?" tanya dia mengenai situasi terkini kecamatan di tengah Kota Surabaya yang ditinggalkannya sejak 1950-an.
Yan dan istrinya tidak pernah melewatkan peringatan Hari Kemerdekaan RI yang setiap tahun digelar di KBRI Beijing.
Perekat Persatuan
Li Hui Huo, yang 81 tahun silam lahir di Hainan di wilayah selatan China, fasih berbahasa Indonesia.
Ia pernah tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah, sebelum kembali ke China dan menjadi pegawai negeri sipil tahun 1957
Didampingi istrinya, Chen Xiu Qun (78), Li sabar dan telaten memberikan pemahaman tentang Indonesia kepada cucunya, Da Yu Xiang (16).
"Wo ting bu dong, shenme shuo (Saya tidak mengerti apa yang mereka katakan)," kata Da saat pembawa acara panggung gembira selepas upacara pengibaran bendera Merah-Putih.
Chen, sang nenek yang berasal dari Bangka, perlahan-lahan memberikan penjelasan bahwa tidak lama lagi akan tampil tari Bengawan Solo oleh kelompok Huaqiao (warga keturunan Tionghoa).
Setiap kali acara berganti di panggung yang dibangun di timur gedung utama KBRI, Li dan Chen bergantian menjadi pengalih bahasa dadakan bagi cucu prianya yang saat itu mengenakan batik khas Pekalongan.
"Dari teman kakek bernama Agus," kata Da mengenai batik dominan warna cokelat yang dikenakannya.
Di sela acara panggung gembira berlangsung, remaja yang duduk di bangku kelas II sekolah menengah atas di Beijing itu sibuk dengan gawainya. Kali ini dia mencari berbagai informasi tentang Indonesia.
"Hen piaoliang (indah sekali)," gumamnya sambil menunjukkan gambar-gambar objek wisata pantai di Bangka Belitung kepada neneknya yang duduk di sebelah kanannya.
"Iya, betul! Ini tempat kelahiran nenek. Sekarang sudah jadi tempat wisata," jawab Chen tidak kalah antusias.
Dari keterangan berbahasa Mandarin yang menyertai gambar-gambar itu, Da menyebutkan bahwa Bangka Belitung merupakan salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan China.
Ia mengaku belum pernah ke Indonesia. Namun pagi itu dia sangat antusias ketika diajak kakek-neneknya ke KBRI Beijing. Apalagi sekolahnya sedang libur musim panas selama Juli hingga September tahun ini.
Selain mendampingi kakek-neneknya yang sudah berusia lanjut, Da jadi mengenal budaya Nusantara yang kaya dan beragam.
"Dia memang model anak zaman sekarang yang serba ingin tahu," komentar Li, yang kali ini duduknya bergeser sehingga diapit oleh Da dan Chen di depan panggung gembira tersebut.
Li dan Chen pun bergantian menceritakan tentang Indonesia, mulai dari negara dengan beribu pulau hingga beragam suku dan budaya.
Tidak sedikit orang seperti Da, Li, dan Yan, yang mencintai Indonesia meski tidak lahir dan bekerja di Bumi Nusantara.
Pertalian darah membawa Indonesia ke dalam diri mereka. Dan peringatan Hari Kemerdekaan RI di Beijing menjadi perekat mereka dengan Indonesia.
Warga Indonesia yang tinggal di China dan warga China yang pernah tinggal di Indonesia rela antre dua jam sebelum pintu gerbang KBRI Beijing dibuka pada pukul 08.00 waktu setempat demi bisa mengikuti upacara 17 Agustus.
Bahkan saat upacara berlangsung pun, masih ada beberapa orang yang berdiri dalam antrean karena pintu gerbang dibuka kembali seusai upacara.
Acara itu juga menjadi tempat mereka melepas rindu dengan sajian makanan khas Nusantara dan berbagai bingkisan serta hadiah menarik dari perusahaan Indonesia seperti Garuda Indonesia, Indofood, Mayora, dan Papatonk.
"Hari ini kita berkumpul tidak hanya memperingati detik-detik Proklamasi, melainkan juga menjalin tali silaturahmi antar-WNI perantauan, antara huaqiao (WNI keturunan Tionghoa), dan pencinta Indonesia lainnya di Tiongkok," kata Dubes RI untuk China Soegeng Rahardjo seusai memimpin upacara.
Indonesia juga bersemayam di hati mereka
20 Agustus 2017 12:47 WIB
Arsip Foto. Bendera Merah Putih raksasa berkibar di tugu Monas, Jakarta, Rabu (17/12/2014). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017
Tags: