Jakarta (ANTARA News) - Akselerasi kemajuan teknologi yang luar biasa dahsyat didukung oleh kelahiran generasi Z dan Y dari sudut analisis apapun, bakal membuat pers cetak bangkrut, televisi gratis (free to air) gulung tikar dan mengubah total peta sekaligus lanskap perpolitikan.




Para penganut Teori Generasi, yang diprakarsai sosiolog Hungaria bernama Karl Mannheim dalam esainya berjudul “The Problems of Generations” pada 1923, secara umum menempatkan Generasi Z adalah mereka yang lahir periode 1995—2010.




Kiwari (saat ini) generasi Z adalah remaja yang masih bersekolah ataupun duduk di tahun pertama perguruan tinggi. Generasi Z memiliki keistimewaan lahir pada erat internet atau siber, suatu era yang informasi sangat mudah diperoleh secara gratis. Mereka biasa juga disebut generasi millenial. Adapun generasi Y atau Generasi Post Millenial lahir periode 1981—1994.




Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi di Pulau Jawa saja pada 2020 Generasi Z akan menyentuh 61,8% populasi, dan saat ini sudah berada di kisaran 59%.




Dengan karakter pola pikir dan perilaku yang sudah sangat digital berbasis teknologi tinggi, mereka hampir tak lagi membutuhkan pers konvensional, seperti koran dan majalah cetak. Lebih jauh lagi, mereka di masa depan juga sudah meninggalkan siaran televisi tradisional gratis.




Walhasil, pers cetak segera akan bangkrut dan siaran televisi tradisional dalam lima hingga 10 tahun lagi juga gulung tikar. Keruntuhan pers cetak sudah mulai bergoyang sejak beberapa tahun belakangan ini. Sedangkan, industri televisi tradisional justru sedang mencapai puncaknya untuk selanjutnya menampaki turun.




Enam Pembeda




Sebagian kalangan pers masih ada yang berpandangan romantis dengan bersikukuh mempertahankan bahwa pers cetak masih akan ada selamanya. Mereka yakin pers cetak masih dapat eksis.




Mereka merujuk kepada "bukti" sejarah, walaupun dulu lahir radio (penemuan Guglielmo Marconi dari Italia pada 1896) dan televisi (penemuan John Logie Baird dari Skotlandia pada 1926), ternyata pers cetak masih terus bertahan. Bagi mereka, hal itu sudah suatu bukti kuat bahwa pers catak tidak akan mati.




Bahkan, mereka lantas menujuk contoh China dan India yang pers cetaknya hingga kini masih kuat.

Rupanya kaum "romantisme" itu kehilangan sudul pandang (angle) bahwa sejarah radio dan televisi masa lalu sangat jauh berbeda dengan akselerasi kemajuan teknologi dewasa ini.





Pertama, dahulu walaupun radio dan televisi hadir, tetapi sifatnya masih seperti pers cetak, yaitu satu arah dari produser ke penonton. Tak ada pilihan langsung bagi publik untuk menentukan berita atau acara apa yang ingin mereka nonton.




Sifat "satu arah" membuat ada kemajuan televisi, radio dan media siber, tapi masih satu rumpun dengan pers cetak. Sekarang dan ke masa depan segalanya berubah, semuanya justru ditentukan oleh para khalayak sendiri, mau nonton apa, kapan, di mana saja dan dengan cara apapun juga.




Teknologi kiwari membuat televisi, radio, bahkan media siber tak lagi serumpun dengan pers cetak.

Kedua, kalau sebelumnya isi berita ditentukan oleh "redaksi", sekarang masyarakat luas membuat beritanya sendiri.




Hal ini karena alat-alat produksi berita yang sebelumnya hanya dikuasai secara sepihak oleh pers cerak, sekarang dan seterusnya ke depan lebih banyak dikuasai oleh masyarakat luas ketimbang oleh "redaksi."




Masyarakat luas tak lagi menunggu berita dari pers cetak, tetapi malah menggilas berita pers cerak dengan berita-berita yang mereka buat. Pers cetak kelak bakal menjadi nostalgia.




Ketiga, budaya sudah jauh berbeda. Kalau dulu pernah ada ketergantungan pada pers cetak, sekarang Generasi Z sejak awal sama sekali tidak pernah mempunyai tabiat yang tergantung kepada media cetak.




Dengan kata lain, Generasi Z ini tidak ada hubungan "emosional", apalagi "hubungan batin" dengan pers cetak. Akibatnya, jika pers cetak rubuh, maka buat mereka tak ada pengaruh apa-apa.

Keempat, biaya pers cetak bakal terus melambung tinggi, sementara teknologi informasi sebaliknya memberikan kemudahan memproduksi berita, sampai taraf gratis.




Kelima, dahulu perkembangan radio, televise, dan bahkan komputernya pun masih berjalan sendiri-sendiri. Kita menonton TV hanya terbatas pada alat penerima siaran di suatu tempat, dan khusus untuk televisi saja. Telepon pun masih telepon kabel. Dampaknya pers cetak masih dapat tumbuh, bahkan eksis.




Kini semuanya sudah konvergensi: satu alat dapat untuk semua keperluan komunikasi. Semuanya sudah kompatibel pula.




Keenam, zaman kiwari dalan berkomunikasi hampir tidak ada lagi batas atau sekat negara. Lalu lintas komunikasi berlangsung bebas langsung antara mereka yang berlain negara. Komunikasi itu juga berlangsung secara seketika (real time) dan dapat pula dengan mudahnya terpublikasi secara langsung (live), padahal dahulu hal itu tidak terjadi.




Jadi, paradigma "kemajuan" zaman dulu berbeda jauh dengan jauh berbeda dengan "kemajuan" saat ini. Dalam satu genggaman saja, dalan pengertian harafiah, kita sudah memperoleh hampir semua informasi yang kita butuhkan, secara gratis.




Kasus China dan India




Kenapa di China dan India ada pers cetak masih bertahan? Ini lantaran di China menganut sistem politik komunis yang cenderung ke otoriter. Mereka membatasi informasi yang masuk ke Negeri Tirai Bambu itu. Tidak semua saluran komunikasi dibuka. Siapa yang berani melanggar akan memperoleh sanksi yang berat.




Jadi, sebagian rakyat disana belum dapat menikmati gelombang baru informasi. Itupun dengan catatan pasti teknologi kelak tak bisa dibendung lagi.




Sedangkan, di India yang masih memegang media cetak umumnya adalah masyarakat tradisional dan mayoritas dari stratifikasi menegah ke bawah yang masih jauh dari jangkauan teknologi informasi. Jika suatu saat mereka sudah bersentuhan dengan teknologi informasi, maka niscaya perubahan itu akan datang jua kepada mereka.




Merembes ke Bidang Politik




Tentu pada akhirnya pengaruh teknologi dan lahirnya Generasi Z dan Y semua itu merembes pula ke bidang politik. Para pemimpin dunia menyadari dan memperhatikan fenomena ini.




Presiden Joko Widodo (Jokowi), contohnya. Saat memberi kuliah umum di Universitas Ahmad Dahlan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 22 Juni 2017, Jokowi menegaskan Generasi Y dan Generasi Z akan mengubah peta politik dan ekonomi nasional dalam waktu lima hingga 10 tahun ke depan.




Misalnya, Jokowi menuturkan, Generasi X (kini usia di atas 35 tahun) masih mau beli koran dan baca koran secara urut dari halaman pertama sampai terakhir. Sementara Generasi Y dan Z, mana mau beli koran. Mereka tidak perlu media cetak, karena cukup mencari (search) berita di telepon seluler (ponsel) pintarnya. Mereka juga tidak minat dengan urutan berita yang disajikan media. Generasi Y dan Z tahu apa yang mereka mau.




Generasi X, tambahnya, masih setia menyimak televisi dan duduk manis di jam-jam tertentu menunggu tayangan kesukaannya muncul. Sebaliknya, Generasi Y dan Z tidak butuh televisi, apalagi disuruh menantikan tayangan demi tayangan, kecuali siaran langsung pertandingan sepak bola atau sejenisnya.




Semua bisa mereka tonton di internet baik via YouTube, televisi streaming, dan media massa sejenis.




Jokowi menilai stasiun-stasiun televisi yang besar-besar itu akan mati, digantikan dengan anak-anak muda yang dengan kamera sederhana dari ruang idekosnya membuat monolog yang lucu-lucu untuk diunggah ke YouTube dengan penonton jutaan orang.




“Mereka Generasi Y dan Z, yang akan mengubah landscape politik dan landscape ekonomi nasional. Lihat nanti lima atau 10 tahun ke depan akan berubah semuanya,” ujar Jokowi.




Generasi Z, menurut Jokowi, tidak akan lagi membaca media konvensional atau media cetak, melainkan media online di perangkat ponsel pintar (smartphone). Begitu pula soal TV yang mulai ditinggalkan. Mereka akan beralih ke video di media sosial.




“Karena generasi ini sudah tidak baca koran lagi. Karena, kalau pakai smartphone tinggal buka yang dot com, dot com, kan banyak sekali di situ. Tidak akan lihat TV lagi karena sudah bisa minta video-video. Pegangannya hanya smartphone bisa tahu semuanya,” urai Jokowi.




Generasi Z lebih suka berinteraksi langsung dengan pemimpinnya. Dampaknya, pemimpin yang sulit digapai akan segera mati gaya.




Jokowi mengungkapkan, dulu Generasi X bisa kaya raya dengan menjadi penghubung ke orang-orang hebat, mulai selebriti sampai pejabat di lingkar istana. Sekarang, cukup dengan Twitter, Facebook, LinkedIn dan aneka media sosial lainnya, siapapun dapat dengan mudah menghubungi para elite tersebut. Maaf, tak perlu perantara!




Semua bentuk penghubung orang di tengah (middle man) cepat atau lambat akan mati. Mereka akan punah. Generasi Z tidak suka berurusan dengan perantara, calo, makelar (brooker) atau middle man. Mereka ingin langsung ke sumbernya.




Pendapat Jokowi sangat masuk akal. Perubahan ini juga diantisipasi oleh para pemimpin dunia sampai beberapa pemimpin lokal.




(Baca juga: Presiden ingatkan kemunculan Generasi Y pembawa perubahan)





Pengaruh Pada 2019




Generasi Z Indonesia mempunyai kecenderungan lebih bebas dalam berpikir dan menentukan pilihan.

Pengaruh globalisasi dan komunikasi antar negara yang tanpa batas lagi, membuat masyarakat Indonesia, terutama Generasi Z, terbuka terhadap paham yang bersumber dari pelbagai negara di seluruh dunia.





Hasilnya, kecenderungan Generasi Z bersikap bebas dan terbuka dibandingkan para politikus sekarang, yang berasal dari Generasi Baby Boomer (lahir periode 1946—1964).




Dunia politik Indonesia, mau tak mau, memang harus bersiap memasuki masa baru: saat Generasi Z kini berumur 17, mulai beranjak dewasa dan mulai memiliki hak pilih.




Generasi Z akan memulai pengaruhnya di Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2018, dan terutama Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) sekaligus Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019. Sementara itu, walaupun saat itu pengaruh pers cerak masih ada, tapi perlahan-lahan ke masa depan justru semakin surut. (*)






*) Wina Armada Sukardi adalah wartawan dan pakar hukum media.