Jakarta (ANTARA News) - Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) membocorkan kepada publik bahwa gaji dan tantiem direksi JICT mencapai Rp2,5 miliar per tahun, namun mereka diduga telah melakukan politisasi terhadap gaji pekerja dan wanprestasi hak-hak karyawan demi melanggengkan uang sewa ilegal perpanjangan kontrak JICT jilid 2 (2015-2039).

"Ini fakta yang tidak pernah disampaikan ke publik. Pendapatan tahunan JICT yang besar atau mencapai Rp3,5-4 triliun per tahun, diduga menjadi daya tarik investor asing Hutchison memperpanjang kontrak jilid II. Namun BPK menyatakan perpanjangan ini melanggar aturan dan merugikan negara Rp3,08 triliun," kata Sekretaris Jendral SP JICT M Firmansyah dalam keterangan tertulis di sela aksi mogok mereka 3-10 Agustus di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis.

Menurut dia, pada tiga tahun terakhir, JICT dijalankan secara auto-pilot sehingga nyaris tanpa peran direksi dan tercatat sejak sejak 2015, telah terjadi mogok kerja sebanyak empat kali dengan dua di antaranya dibatalkan karena wanprestasi direksi dipenuhi.

"Puncak mogok JICT terjadi lagi pada 3-10 Agustus. 2017 ini karena direksi kembali wanprestasi terhadap hak pekerja yang sudah tercantum dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) perusahaan," katanya.

Dia memperkirakan kerugian akibat mogok JICT mencapai ratusan milyar rupiah.

"Patut diduga direksi sengaja mengorbankan kepentingan nasional untuk memberangus kritik pekerja terhadap perpanjangan kontrak JICT kepada Hutchison," kata Firmansyah.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengimbau Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) tidak bertindak aneh-aneh terkait dengan aksi mogok kerja, mulai Kamis hingga 10 Agustus 2017.

Luhut ditemui seusai penganugerahaan gelar Perekayasa Utama Kehormatan di Jakarta, Kamis, mengatakan jika serikat pekerja ingin menyampaikan komplain atas hal yang tidak sesuai seharusnya dapat dikomunikasikan dengan baik.

Hal itu demi menjaga produktivitas perusahaan dalam melakukan pelayanan.

"Saya ingin imbau, jangan aneh-anehlah. Kalau ada hal-hal yang tak benar, ya, diberi tahu. Akan tetapi, jangan buat produktivitas enggak bagus," katanya.

Ia bahkan meminta aparat keamanan untuk melihat jika ada pelanggaran yang terjadi dalam aksi.

"Kalau perlu diproses hukum, ya, kami proses hukum. Jangan demo-demo yang enggak jelas itu. Demo itu kalau memang ada hak dia yang enggak dilakukan (diberikan). Di luar, misalnya UMR atau lainnya, ini kan tidak," ujarnya.

Luhut pun mengaku bingung dengan aksi yang dilakukan SP JICT karena penghasilan pegawai JICT untuk bagian operator saja mencapai sekitar Rp36 juta per bulan.

Menurut Kuasa Hukum PT JICT Purbadi Hardjoprajitno, aksi mogok kerja disebabkan karena bonus karyawan yang diterima pada 2016 menurun 42,5 persen dibandingkan bonus pada tahun sebelumnya.

Penurunan terjadi karena PBT (profit before tax) JICT menurun dari 66,3 juta dolar AS pada 2015 menjadi 44,2 juta dolar AS pada 2016.