Jakarta (ANTARA News) - Busyro Muqoddas bersama tiga badan hukum yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan KPK dari Angket DPR mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 78 ayat (3) dan Pasal 199 ayat (3) Undang-Undang tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD yang mengatur penggunaan hak angket DPR.

Tiga lembaga yang bersama Busyro mengajukan permohonan uji materi pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi meliputi Indonesia Corruption Watch (ICW), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

"Mahkamah Konstitusi perlu memaknai konstitusionalitas Pasal 79 ayat (3) UU MD3, bahwa kewenangan hak angket DPR tidak bisa ditujukan untuk menyelediki KPK," kata anggota tim kuasa hukum pemohon, Lalola Easter, di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis.

Pasal 79 ayat (3) menyebutkan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

"Dalam pasal tersebut dimasudkan yang diselediki oleh DPR adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan pemerintah sebagai lembaga eksekutif," kata Lalola.

Pemohon juga meminta Mahkamah menafsirkan ketentuan a quo, bahwa kewenangan hak angket DPR terhadap KPK tidak memenuhi unsur hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat Indonesia.

"Hak angket ini kami nilai lebih terlihat memperjuangkan kepentingan politik untuk intervensi proses peradilan khusus kasus korupsi KTP elektronik yang sedang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi," tambah Lalola.

Dengan demikian pemohon berpendapat objek yang diusung DPR untuk menyelidiki proses berperkara di KPK jauh dari yang ditentukan undang-undang.

Pemohon juga meminta Mahkamah menafsirkan Pasal 199 ayat (3) terkait dengan syarat formil penerapan hak angket, seperti mekanisme pengajuan usul hak angket, prosedur hak angket, dan pembentukan panitia hak angket.

"Kami menemukan bahwa DPR tidak memenuhi prosedur pengesahan hak angket yang diatur berdasarkan ketentuan a quo," kata Lalola.

Pemohon meminta Mahkamah menyatakan pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak dapat dilakukan penyeledikan terhadap KPK.

"Bilamana Majelis Hakim dan Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia mempunyai putusan lain, mohon keputusan yang seadil-adilnya," demikian Lalola.