Bandung (ANTARA News) - Perajin kulit di Kabupaten Garut, Jawa Barat, terpaksa memanfaatkan kembali garam bekas untuk mengurangi ongkos proses penyamakan bahan baku kulit setengah jadi akibat harga garam naik dan langka di pasaran.

"Para pengusaha penyamakan kulit terpaksa menggunakan garam bekas, walau hasil yang didapat kurang bagus," kata Wakil Ketua Bidang Pemerintahan Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Kabupaten Garut, Sukandar, kepada wartawan di Garut, Kamis.

Garam dibutuhkan sebagai bahan untuk proses penyamakan kulit setengah jadi agar tidak cepat membusuk.

Sejak garam langka dan harganya naik, kata dia, pengusaha penyamakan kulit kembali memanfaatkan garam yang sudah digunakan sebelumnya.

Cara tersebut, menurut dia, merupakan solusi alternatif agar biaya operasional tidak terlalu tinggi dan kulit tetap bertahan lama.

"Pengunaan garam bekas terpaksa dilakukan ketimbang bahan baku kulit tak bisa diawetkan," katanya.

Ia mengungkapkan, saat ini garam di pasaran terjadi kenaikan hingga 400 persen dari Rp1.100 menjadi Rp5.000 per kilogram.

Bahkan para pemasok, kata dia, lebih mendahulukan kesepakatan harga beli garam tanpa menunjukan keberadaan barangnya.

"Saat ini penjual di Cirebon tidak berani buka harga, malah balik nanya berani bayar berapa, saat konfirmasi barang tak ada, kalau ada gak jadi masalah," katanya.

Ia menyampaikan, pengusaha penyamakan kulit di Garut sangat membutuhkan garam yang setiap bulannya membutuhkan 120 ton garam.

Kenaikan itu, kata dia, baru dialami para pengusaha penyamakan kulit di Garut, padahal sebelumnya hanya naik sedikit dan tidak berlangsung lama.

"Tentunya kalau biaya produksi naik, harga kulit jadi naik, tapi terkadang konsumen tidak mau harganya dinaikan," katanya.

(Baca: Garam langka di negeri maritim fenonema ganjil, kata akademisi)