Perpres 58/2017 percepat realisasi pembangunan infrastruktur
14 Juli 2017 18:20 WIB
Dokumentasi: Pembangunan Jalur DDT Manggarai-Cikarang Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan double-double track (DDT) Manggarai-Cikarang di kawasan Manggarai, Jakarta, Selasa (11/7/2017). (ANTARA /Muhammad Adimaja) ()
Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo mengatakan penerbitan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 bisa mempercepat pembangunan infrastruktur yang sudah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional.
"Semangat pemerintah untuk percepatan pembangunan proyek infrastruktur terlihat di Perpres Nomor 58 Tahun 2017," kata Lukita di Jakarta, Jumat.
Perpres Nomor 58 Tahun 2017 yang ditandatangani oleh Presiden pada 15 Juni 2017 merupakan revisi dari Perpres Nomor 3 Tahun 2016 mengenai Proyek Strategis Nasional.
Perpres ini menyediakan fasilitas pengaturan tata ruang, percepatan penyediaan tanah, pemantauan proyek oleh sistem teknologi informasi yang dimiliki Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), percepatan pengadaan barang dan jasa serta percepatan proyek nonanggaran pemerintah.
Kemudahan itu melengkapi fasilitas yang sudah ada di Perpres Nomor 3 tahun 2016 yaitu penetapan Proyek Strategis Nasional, penyelesaian perizinan dan nonperizinan, pengutamaan komponen dalam negeri, pemberian jaminan pemerintah, penugasan BUMN, penyelesaian permasalahan dan hambatan serta penyelesaian permasalahan hukum.
Melalui fasilitas tersebut, Lukita menyakini, berbagai Proyek Strategis Nasional yang dikawal oleh KPPIP bisa selesai pada periode 2018-2019.
"KPPIP juga sudah memberikan kontribusi yang sangat baik dalam mendukung percepatan pembangunan infrastruktur, dengan menyediakan dan menyiapkan regulasi untuk mendukung iklim usaha yang lebih baik," tuturnya.
Terkait pembiayaan pembangunan, Lukita juga mendukung keikutsertaan sektor swasta dalam berbagai proyek infrastruktur untuk mengatasi masalah keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah dalam APBN.
"Tentunya proyek-proyek yang ditawarkan ke swasta adalah yang layak secara finansial, mengingat swasta juga mencari keuntungan," ujarnya.
Untuk mendukung peran swasta tersebut, tambah dia, pemerintah telah membuat sejumlah regulasi agar investor berminat untuk menanamkan modal dalam proyek infrastruktur.
Meski demikian, Lukita mengakui, masih ada peraturan pemerintah daerah yang masih menghambat optimalisasi pembangunan infrastruktur.
Ia menyakini hal tersebut merupakan proses yang harus dilalui, karena pemerintah daerah akan melihat pentingnya investor bagi kemajuan pembangunan di wilayah masing-masing.
"Jika suatu daerah melihat daerah lain lebih maju, tentu mereka akan berlomba-lomba untuk jadi lebih baik," ungkap Lukita.
Perpres Nomor 58 Tahun 2017 menyatakan Program Strategis Nasional terdiri dari sebanyak 245 proyek dan dua program, dengan nilai investasi diperkirakan mencapai Rp4.197 triliun.
Kebutuhan pembiayaan proyek tersebut, sebanyak Rp525 triliun atau 12 persen berasal dari APBN, sebanyak Rp1.258 triliun atau 30 persen berasal dari partisipasi BUMN/BUMD dan sebesar Rp2.414 triliun atau 58 persen berasal dari swasta.
Proyek tersebut antara lain berada di Sumatera sebanyak 61 proyek dengan nilai Rp638 triliun, Jawa sebanyak 93 proyek dengan nilai Rp1.065 triliun, Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 15 proyek dengan nilai Rp11 triliun, Sulawesi sebanyak 27 proyek dengan nilai Rp155 triliun, Maluku dan Papua sebanyak 13 proyek dengan nilai Rp444 triliun.
"Semangat pemerintah untuk percepatan pembangunan proyek infrastruktur terlihat di Perpres Nomor 58 Tahun 2017," kata Lukita di Jakarta, Jumat.
Perpres Nomor 58 Tahun 2017 yang ditandatangani oleh Presiden pada 15 Juni 2017 merupakan revisi dari Perpres Nomor 3 Tahun 2016 mengenai Proyek Strategis Nasional.
Perpres ini menyediakan fasilitas pengaturan tata ruang, percepatan penyediaan tanah, pemantauan proyek oleh sistem teknologi informasi yang dimiliki Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), percepatan pengadaan barang dan jasa serta percepatan proyek nonanggaran pemerintah.
Kemudahan itu melengkapi fasilitas yang sudah ada di Perpres Nomor 3 tahun 2016 yaitu penetapan Proyek Strategis Nasional, penyelesaian perizinan dan nonperizinan, pengutamaan komponen dalam negeri, pemberian jaminan pemerintah, penugasan BUMN, penyelesaian permasalahan dan hambatan serta penyelesaian permasalahan hukum.
Melalui fasilitas tersebut, Lukita menyakini, berbagai Proyek Strategis Nasional yang dikawal oleh KPPIP bisa selesai pada periode 2018-2019.
"KPPIP juga sudah memberikan kontribusi yang sangat baik dalam mendukung percepatan pembangunan infrastruktur, dengan menyediakan dan menyiapkan regulasi untuk mendukung iklim usaha yang lebih baik," tuturnya.
Terkait pembiayaan pembangunan, Lukita juga mendukung keikutsertaan sektor swasta dalam berbagai proyek infrastruktur untuk mengatasi masalah keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah dalam APBN.
"Tentunya proyek-proyek yang ditawarkan ke swasta adalah yang layak secara finansial, mengingat swasta juga mencari keuntungan," ujarnya.
Untuk mendukung peran swasta tersebut, tambah dia, pemerintah telah membuat sejumlah regulasi agar investor berminat untuk menanamkan modal dalam proyek infrastruktur.
Meski demikian, Lukita mengakui, masih ada peraturan pemerintah daerah yang masih menghambat optimalisasi pembangunan infrastruktur.
Ia menyakini hal tersebut merupakan proses yang harus dilalui, karena pemerintah daerah akan melihat pentingnya investor bagi kemajuan pembangunan di wilayah masing-masing.
"Jika suatu daerah melihat daerah lain lebih maju, tentu mereka akan berlomba-lomba untuk jadi lebih baik," ungkap Lukita.
Perpres Nomor 58 Tahun 2017 menyatakan Program Strategis Nasional terdiri dari sebanyak 245 proyek dan dua program, dengan nilai investasi diperkirakan mencapai Rp4.197 triliun.
Kebutuhan pembiayaan proyek tersebut, sebanyak Rp525 triliun atau 12 persen berasal dari APBN, sebanyak Rp1.258 triliun atau 30 persen berasal dari partisipasi BUMN/BUMD dan sebesar Rp2.414 triliun atau 58 persen berasal dari swasta.
Proyek tersebut antara lain berada di Sumatera sebanyak 61 proyek dengan nilai Rp638 triliun, Jawa sebanyak 93 proyek dengan nilai Rp1.065 triliun, Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 15 proyek dengan nilai Rp11 triliun, Sulawesi sebanyak 27 proyek dengan nilai Rp155 triliun, Maluku dan Papua sebanyak 13 proyek dengan nilai Rp444 triliun.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017
Tags: