Jakarta (ANTARA News) - Hasil kajian Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial Kemanusiaan (IPSK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan keberadaan Tenaga Kerja Asing (TKA) tanpa diimbangi dengan peraturan yang ketat membuka celah terjadinya pelanggaran seperti adanya tenaga kerja asing ilegal.

Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Devi Asiati dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis, mengatakan masuknya TKA ke Indonesia menjadi konsekuensi atas meningkatnya investasi asing.

Terlebih Indonesia sebagai penganut sistem ekonomi terbuka membuka kesempatan bagi investor asing untuk terlibat dalam perekonomian domestik melalui Penanaman Modal Asing (PMA).

Masuknya modal asing tersebut menciptakan kesempatan kerja bagi Tenaga Kerja Lokal (Indonesia) maupun TKA. Memang di satu sisi, keberadaan TKA membuka peluang terciptanya proses transfer pengetahuan dan teknologi, namun di sisi lain keberadaan mereka tanpa diimbangi dengan peraturan yang ketat membuka kesempatan terjadinya pelanggaran seperti adanya tenaga kerja asing ilegal.

Ia mengatakan berdasarkan hasil kajian peneliti Kedeputian IPSK LIPI menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan TKA di Indonesia.

Pertama, tingginya intensitas penggunaan TKA dalam proyek investasi dari Cina dibandingkan negara lain di mana dalam kurun waktu 2010 s.d. 2016 merupakan salah satu dari 10 investor terbesar yang masuk ke Indonesia.

Peningkatan nilai investasi mereka yang nisbi lebih cepat dibanding negara lain, menurut Devi, membawa konsekuensi tingginya tenaga kerja mereka yang masuk ke Indonesia. Lonjakan tajam mencapai hampir empat kali lipat telah terjadi dalam dua tahun terakhir yaitu dari 873 orang (2015) menjadi 4.236 orang (2016).

Kedua, meningkatnya TKA ilegal asal Cina, meskipun tidak diketahui jumlah TKA ilegal asal negara tersebut secara pasti, namun penemuan TKA Cina tanpa dokumen resmi di sejumlah daerah misalnya Bogor, Konawe, Gresik, Murungraya dan daerah lainnya mengindikasikan keberadaan TKA ilegal asal Cina telah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.

Hal ini juga didukung oleh data pelanggaran keimigrasian tahun 2016, pelanggaran paling banyak berasal dari Cina yang angkanya mencapai 24 persen atau 7.787 orang dari seluruh pelanggaran.

Ketiga, adanya celah peraturan yang berpotensi memunculkan TKA ilegal, yaitu perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 12 Tahun 2013 menjadi Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 dan diubah lagi menjadi Permenaker 35 Tahun 2015 tentang perubahan atas Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA.

Perubahan tersebut, menurut dia, cenderung melonggarkan penggunaan TKA, khususnya dilihat dari penghapusan mengenai syarat dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) huruf d, Permenaker Nomor 12 Tahun 2013. Syarat tersebut dalam Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 sudah dihilangkan.

Demikian pula dengan penghapusan rasio jumlah TKA dengan Tenaga Kerja Lokal. Sebelumnya pada pasal 3 Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 masih mencantumkan satu orang TKA menyerap 10 tenaga kerja lokal, sehingga hal ini juga berdampak terhadap berkurangnya peluang penciptaan kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal sejalan dengan penggunaan TKA.

Keempat, lanjutnya, pengawasan TKA yang belum maksimal. Minimnya ketersediaan tenaga pengawas menjadi salah satu kendala dalam melakukan pengawasan TKA.

Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja tahun 2017, pengawas TKA berjumlah 2.294 orang, terdiri dari pengawas umum, spesialis dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Jumlah tersebut belum mampu menjangkau TKA sebesar 71.025 orang yang merupakan TKA legal, belum lagi TKA ilegal.

Tenaga pengawas tersebut juga harus mengawasi sejumlah 216.547 perusahaan. Idealnya satu pengawas mengawasi lima perusahaan sehingga dampaknya banyak kasus pelanggaran akibat dari penegakan hukum yang kurang efektif.