Jakarta (ANTARA News) - Teknologi saat ini memungkinkan sampah plastik menjadi produk laik guna melalui proses daur ulang mulai dari buku, tas, wadah penyimpanan bahkan hingga kursi.

Sebanyak 111 botol bekas kemasan minuman Coca-Cola misalnya, bisa diubah menjadi kursi. Sekalipun teknologi daur ulang seperti itu belum bisa dilakukan di Indonesia, namun suatu hari tangan-tangan dingin anak bangsa akan mampu mengadopsinya.


(ANTARA News/Lia Wanadriani Santosa)

Kursi hasil daur ulang ini bahkan dibanderol dengan harga relatif tak murah, yakni 152 dolar Amerika Serikat atau setara Rp 2.028.896.

Selain itu, adapula buku dan wadah penyimpanan barang dari karton kemasan bekas minuman produk Tetra Pak.

Kemudian, dari kemasan yang sama terdapat bagian aluminium yang bisa diubah menjadi furniture.



(ANTARA News/Lia Wanadriani Santosa)

"Dari bekas kemasan minuman bisa diubah menjadi kertas daur ulang dan kertas daur ulang bisa dibuat berbagai macam semisal buku, wadah penyimpanan barang. Di dalam kemasan itu ada alualumuniumnya, nah aluminium dan plastiknya bisa diubah menjadi furniture," ujar perwakilan pihak Tetra Pak, Gabrielle Angriani Johny kepada ANTARA News, Rabu (12/7).

Tak sampai di situ, belum lama ini juga PT Unilever Indonesia juga memperkenalkan teknologi solvolisis (CreaSolv), yang memanfaatkan sampah kemasan sachet agar bisa menjadi circular economy.

"Kita bersihkan dulu sachet-nya, lalu dicacah nanti masuk ke Solv policies, diambil PE (Polietilena), nanti ada sisa residunya disebut film residu. Recycle PE untuk bahan plastik packaging. Untuk film residunya, dimanfaatkan untuk palet salah satunya," kata Muchatazar mewakili bagian Environment & Sustaining Program perusahaan, dalam kesempatan berbeda.

Hanya saja, teknologi ini masih belum mampu dilakukan mandiri di Indonesia. Selain itu, berbagai kendala melingkupi pengembangan teknologi ini, salah satunya kesulitan mengumpulkan sampah kemasan sachet.

"Kendala, dari segi pengumpulan untuk sampah kemasan tidak mudah karena modelnya belum terbentuk di masyarakat. Kalau botol minuman sudah berlangsung cukup lama, dan sudah banyak yang bantu. Tetapi kalau sampah kemasan belum banyak dikumpulkan," tutur Muchtazar.

Selain itu, sambung dia, tak semua kemasan sachet bisa masuk proses solvolisis. Ada sachet tertentunya yang kandungan utamanya bukan PE, namun metal, seperti kemasan es krim.


Pengelolaan sampah berkelanjutan melalui pendekatan Circular Economy (CE)

Perwakilan dari PRAISE, Sinta Kaniawati mengatakan data studi di Indonesia setiap harinya rumah tangga menghasilkan sekitar 0,7 kilogram sampah. Bila dijumlahkan dengan total penduduk Indonesia, maka sekitar 175 kilogram sampah per harinya yang dihasilkan satu rumah tangga.

Dari jumlah ini, 17 persen merupakan plastik. Menurut Sinta, salah satu penyumbang sampah plastik ini adalah kantong plastik belanja yang hampir digunakan merata oleh masyarakat.

"Sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir sebagian besar sudah diproses sektor informal, termasuk industri daur ulang. Namun, belum semua sampah plastik bisa didayagunakan," tutur Sinta.

Lantas apa yang bisa dilakukan?

"Menghubungan apa yang bisa dibuang konsumen atau melakukan daur ulang melalui circular model," kata Sinta.

Melalui model pendekatan ini, maka material kemasan bekas pakai dapat terus dipertahankan nilainya serta dimaksimalkan penggunaannya melalui proses daur ulang (re-cycling), penggunaan kembali (reuse) ataupun produksi ulang (remanufacture), sehingga menciptakan rantai ekonomi baru.

Selain itu bisa meminimalisir beban lingkungan ke alam seperti tempat pembuangan akhir atau bahkan lautan.

Dalam hal ini, Sinta menekankan pentingnya kerjasama berbagai pihak agar menghasilkan solusi yang terintegrasi dan tidak bersifat sesaat.

"Terkait sampah plastik kemasan misalnya, rantai prosesnya cukup panjang dan merupakan hubungan sebab akibat yang kompleks. Dari sisi aktor yang terlibat, ada industri bahan baku dan industri pengguna kemasan, retailer, konsumen hingga industri daur ulang dan pengguna daur ulang," kata dia.

"Semua mempunyai fokus berbeda sesuai dengan perannya masing-masing. Namun pemerintah sebagai koordinator dan pembuat kebijakan harus dapat memetakannya secara holistik agar menghasilkan kebijakan yang terintegrasi," sambung Sinta.