Jakarta (ANTARA News) - Pengacara mantan direktur jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman, terdakwa kasus korupsi dalam pengadaan KTP-Elektronik (KTP-e), menyatakan kliennya sakit sehingga tidak bisa menyampaikan nota pembelaan (pledoi) hari ini.

Irman dan mantan direktur Pengelolaan Informasi Kementerian Dalam Negeri Sugiharto hari ini dijadwalkan membacakan nota pembelaan dalam sidang kasus KTP-e di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

"Pak Irman dirawat sejak Kamis (6/7) malam, di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Soebroto, infonya sih makin membaik, tapi masih perih perutnya," kata penasihat hukum Irman, Soesilo Ariwibowo, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Soesilo mengaku belum mengetahui penyebab Irman sakit.

"Saya tidak tahu juga, jangan bicara diracun dulu. Kita lihat dulu sakitnya apa," tambah Soesilo, kemudian menyatakan akan menyampaikan surat keterangan medis mengenai kliennya ke hakim nanti.

"Nanti akan disampaikan dokter yang bersangkutan tentu melalui satu surat, tapi itu karena itu merupakan medis. Rahasia pasien juga, karena ada ketentuan juga, tentu saya tidak akan buka, tapi saya kira hakim akan membaca, jaksa akan tahu bagaimana," tambah Soesilo.

Mengenai kemungkinan adanya makanan yang menyebabkan Irman sakit, ia mengatakan "Kita belum tahu. Saya juga belum ketemu Pak Irman. Kan masing-masing orang tidak sama, jangan suudzon(berprasangka buruk) dulu."

Sementara terdakwa lainnya, direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kementerian Dalam Negeri Sugiharto dinyatakan sehat.

Dalam perkara ini, jaksa menuntut hakim menjatuhi Irman hukuman penjara selama tujuh tahun dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sejumlah 273.700 dolar AS dan Rp2,248 miliar serta 6.000 dolar Singapura subsider dua tahun penjara.

Sedangkan terhadap Sugiharto, jaksa menuntut hakim menjatuhkan hukuman lima tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider enam bulan serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp500 juta subsider satu tahun penjara.


(Baca juga: Setya Novanto tidak penuhi panggilan KPK karena vertigo)




(Baca juga: KPK periksa dua mantan pimpinan Komisi II)