Jumlah jip di Bromo naik usai Lebaran
9 Juli 2017 19:51 WIB
Wisatawan berfoto di pasir berbisik kawasan Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (19/5/2017) yang ditempuhnya menggunakan kendaan jenis jip. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Probolinggo (ANTARA News) - Jumlah angkutan wisata jenis jip di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, naik hingga 700 kendaraan usai libur Lebaran 2017 dan puncaknya saat digelarnya upacara adat Yadya Kasada di kawah Gunung Bromo, Minggu.
"Memang ada peningkatan jumlah armada jip wisata yang beroperasi, namun tidak mencapai angka puncak," kata salah seorang pengelola jip di kawasan Taman Nasional Gunung Bromo, Ribut Laksono, di Probolinggo.
Ia memperkirakan, jumlah jip wisata yang beroperasi sejak Jumat (7/7) hingga Minggu (9/7) yang merupakan puncak rangkaian upacara adat suku Tengger, Yadya Kasada, mencapai 700-an kendaraan.
Jumlah itu, menurut dia, belum seluruhnya beroperasi karena data yang pernah dihimpun pengelola objek wisata Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS) mencapai 1.000 lebih kendaraan.
"Tapi, inipun sudah dua kali lipat dibanding armada yang beroperasi pada hari biasanya yang rata-rata berjumlah 250 hingga 300-an," katanya.
Ia mengungkapkan sebelumnya pelaku usaha jasa jip wisata di kawasan Gunung Bromo terwadahi dalam satu paguyupan bersama, namun kemudian bubar karena beberapa perselisihan dan tidak efektifnya manajemen pengelolaan jasa angkutan wisata di dalam kawasan TNBTS.
"Pelaku jasa angkutan wisata jenis jip atau hardtop yang beroperasi cenderung beroperasi secara mandiri dan bersaing secara terbuka, namun tetap sehat," ujarnya.
Akibat persaingan bebas itulah, ia mengungkapkan, tidak semua pelaku jasa usaha jip wisata beroperasi setiap hari ataupun hanya menyewakan kendaraan saat liburan karena jumlah wisatawan juga meningkat.
Namun, ia menuturkan, banyaknya jumlah kendaraan membuat tak jarang pelaku jasa angkutan wisata tidak mendapatkan penumpang.
Sementara itu, Dani, salah seorang pengemudi jip wisata, mengemukakan bahwa konsumsi bahan bakar minyak (BBM) jenis pertamax untuk operasional kendaraan jenis mobil segala medan (land cruiser) tipe lawas itu cukup banyak, yakni minimal 25 liter untuk sekali jalan melintasi padang pasir menuju kawasan puncak Gunung Bromo.
"Rasio konsumsi BBM kendaraan ini rata-rata 1:5, satu liter untuk lima kilometer jalan. Sangat boros, kalau banyak memakai mesin sistem empat langkah (4WD) konsumsi bisa hanya tiga kilometer per liter. Jadi, kalau tidak kerja, pengelola bisa rugi," katanya.
Saat ini, ia menambahkan, tarif jasa jip wisata TNBTS untuk paket biasa (Puncak Pananjakan, kawah Gunung Bromo, padang Savana dan pasir berbisik) dipatok antara Rp650.000 hingga Rp800.000.
Namun, Ribut maupun Andi menyatakan bahwa harga sewa kendaraan dari setiap pengelola tidak samakarena ada negosiasi antara pihak pemilik dengan penyewa.
"Tapi, memang ada sedikit kenaikan tarif antara Rp100.000 hingga Rp150.000 dibanding hari biasa. Soal harga, semua bersifat tawar-menawar saja di lapangan," ujar Ribut.
Ima, wisatawan asal Bogor, mengaku puas dengan layanan jasa angkutan wisata jip di kawasan TNBTS, karena memudahkannya menjangkau beberapa objek yang lokasinya berjauhan dan tidak mungkin dijangkau oleh kendaraan biasa, apalagi jalan kaki.
"Asyiknya kita bisa menempuh perjalanan dengan medan berat ,seperti sedang menjelajah lintas gunung dan padang pasir di kawasan Gunung Bromo ini," katanya menambahkan.
"Memang ada peningkatan jumlah armada jip wisata yang beroperasi, namun tidak mencapai angka puncak," kata salah seorang pengelola jip di kawasan Taman Nasional Gunung Bromo, Ribut Laksono, di Probolinggo.
Ia memperkirakan, jumlah jip wisata yang beroperasi sejak Jumat (7/7) hingga Minggu (9/7) yang merupakan puncak rangkaian upacara adat suku Tengger, Yadya Kasada, mencapai 700-an kendaraan.
Jumlah itu, menurut dia, belum seluruhnya beroperasi karena data yang pernah dihimpun pengelola objek wisata Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS) mencapai 1.000 lebih kendaraan.
"Tapi, inipun sudah dua kali lipat dibanding armada yang beroperasi pada hari biasanya yang rata-rata berjumlah 250 hingga 300-an," katanya.
Ia mengungkapkan sebelumnya pelaku usaha jasa jip wisata di kawasan Gunung Bromo terwadahi dalam satu paguyupan bersama, namun kemudian bubar karena beberapa perselisihan dan tidak efektifnya manajemen pengelolaan jasa angkutan wisata di dalam kawasan TNBTS.
"Pelaku jasa angkutan wisata jenis jip atau hardtop yang beroperasi cenderung beroperasi secara mandiri dan bersaing secara terbuka, namun tetap sehat," ujarnya.
Akibat persaingan bebas itulah, ia mengungkapkan, tidak semua pelaku jasa usaha jip wisata beroperasi setiap hari ataupun hanya menyewakan kendaraan saat liburan karena jumlah wisatawan juga meningkat.
Namun, ia menuturkan, banyaknya jumlah kendaraan membuat tak jarang pelaku jasa angkutan wisata tidak mendapatkan penumpang.
Sementara itu, Dani, salah seorang pengemudi jip wisata, mengemukakan bahwa konsumsi bahan bakar minyak (BBM) jenis pertamax untuk operasional kendaraan jenis mobil segala medan (land cruiser) tipe lawas itu cukup banyak, yakni minimal 25 liter untuk sekali jalan melintasi padang pasir menuju kawasan puncak Gunung Bromo.
"Rasio konsumsi BBM kendaraan ini rata-rata 1:5, satu liter untuk lima kilometer jalan. Sangat boros, kalau banyak memakai mesin sistem empat langkah (4WD) konsumsi bisa hanya tiga kilometer per liter. Jadi, kalau tidak kerja, pengelola bisa rugi," katanya.
Saat ini, ia menambahkan, tarif jasa jip wisata TNBTS untuk paket biasa (Puncak Pananjakan, kawah Gunung Bromo, padang Savana dan pasir berbisik) dipatok antara Rp650.000 hingga Rp800.000.
Namun, Ribut maupun Andi menyatakan bahwa harga sewa kendaraan dari setiap pengelola tidak samakarena ada negosiasi antara pihak pemilik dengan penyewa.
"Tapi, memang ada sedikit kenaikan tarif antara Rp100.000 hingga Rp150.000 dibanding hari biasa. Soal harga, semua bersifat tawar-menawar saja di lapangan," ujar Ribut.
Ima, wisatawan asal Bogor, mengaku puas dengan layanan jasa angkutan wisata jip di kawasan TNBTS, karena memudahkannya menjangkau beberapa objek yang lokasinya berjauhan dan tidak mungkin dijangkau oleh kendaraan biasa, apalagi jalan kaki.
"Asyiknya kita bisa menempuh perjalanan dengan medan berat ,seperti sedang menjelajah lintas gunung dan padang pasir di kawasan Gunung Bromo ini," katanya menambahkan.
Pewarta: Destyan Handri Sujarwoko
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017
Tags: