Jakarta (ANTARA News) - Analis riset perusahaan finansial FXTM Lukman Otunuga menyoroti fenomena tertekannya nilai sejumlah mata uang negara-negara berkembang dan di berbagai kawasan, termasuk di Indonesia.

"Sebagian besar mata uang Asia sedikit tertekan pada hari Kamis, walaupun notulen rapat komite The Fed (Bank sentral AS) bulan Juni tidak banyak memberi isyarat tentang kecepatan dan jadwal kenaikan suku bunga AS," kata Lukman Otunuga di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, prospek kenaikan suku bunga AS mulai membebani mata uang pasar berkembang, termasuk rupiah yang melemah terhadap dolar AS.

Ia juga menyebutkan, adanya ancaman arus keluar modal karena dolar AS yang menguat membuat investor "menyerang" sehingga sempat melemahkan nilai mata uang rupiah.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menilai pelemahan kurs rupiah yang sempat terjadi disebabkan penguatan indeks investasi di AS yang melebihi perkiraan awal investor, namun takaran depresiasi tersebut tidak mengkhawatirkan.

Penguatan dolar AS juga memicu depresiasi terhadap sebagian besar mata uang di dunia, tidak hanya kepada rupiah saja, kata Agus di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (4/7).

"Kami melihat ini sebagai siklus normal dan kita melihat kondisi yang terus dalam kondisi baik, artinya tidak mengkhawatirkan," ujarnya.

Agus mengatakan pelemahan tersebut masih disebabkan siklus kegiatan ekonomi dan dalam dosis yang normal. Selain itu, fundamental ekonomi Indonesia juga, kata Agus, semakin kuat dan mampu pelemahan kurs rupiah lebih dalam.

Meskipun demikian, tekanan terhadap mata uang Indonesia di sisa tahun masih bisa terjadi. Sebabnya, pelaku pasar semakin meyakini Bank Sentral AS The Federal Reserve masih akan menaikkan suku bunga acuannya sisa enam bulan di tahun 2017 ini.

Ekspektasi tersebut akan semakin kuat jika investasi di AS terus menunjukkan hasil yang lebih baik dari perkiraan. Di samping itu, tekanan juga akan datang dari normalisasi neraca (balance sheet) The Fed dan penurunan harga komoditas.