Jakarta (ANTARA News) - Pada April 2016, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah pimpinan Basuki Tjahaja Purnama menggusur bangunan-bangunan liar di empat wilayah dekat Pelabuhan Sunda Kelapa.

Empat wilayah yang dikenal sebagai pemukiman kumuh itu, antara lain Kampung Luar Batang, Pasar Ikan, kawasan Museum Bahari, dan Kampung Akuarium.

Pemerintah provinsi sebagai gantinya telah menyiapkan rumah susun di kawasan Marunda dan Rawa Bebek, untuk warga yang tempat tinggalnya tergusur.

Kendati demikian, masih ada sebagian warga yang tinggal di bangunan semipermanen di beberapa kawasan itu, khususnya di Kampung Akuarium.

Meskipun tinggal di bangunan semi permanen, tidak berarti warga tidak bisa merayakan Idul Fitri.

Idul Fitri dirayakan dengan riang gembira sebagai Hari Kemenangan umat Muslim, itulah yang ingin diperlihatkan oleh warga di Kampung Akuarium yang tempat tinggalnya telah digusur.

"Dulu di sini ramai pas Lebaran, ini sudah dua tahun ya begini-begini saja ramai enggak tapi juga nggak sepi-sepi banget sih," ujar Baharudin (36) yang menempati salah satu bangunan semipermanen di Kampung Akuarium.

Sebagian warga Kampung Akuarium yang masih bertahan, dikatakan Baharudin telah mudik ke kampung halaman masing-masing.

Baharudin sendiri mengaku tidak bisa pulang ke kampung halaman karena keterbatasan biaya.

"Kalau pulang kampung (Lebaran, red.) tidak cukup hanya untuk transportasi saja, tapi harus menyiapkan uang lebih untuk salam tempel ke anak-anak," kata Baharudin yang berencana mudik ke kampung halaman pada Idul Adha nanti.

Baharudin bercerita meskipun telah digusur, beberapa warga Kampung Akuarium yang sudah pindah datang berkunjung ke kawasan tersebut saat Lebaran.

"Biar sudah begini bentuknya (banyak puing, red.), yang penting kebersamaan," ujarnya.

Benar saja, Tarmin (49) yang pernah menjadi warga Kampung Akuarium mengaku sudah pindah ke rumah susun di Marunda.

Namun, dia mengaku sering berkunjung ke Kampung Akuarium untuk bertemu dengan handai taulan, terutama saat Idul Fitri ini.

"Saya sering tidur di sini, biarpun sudah tinggal di rusun. Di sini warga sudah seperti keluarga," ucapnya.

Tarmin bercerita pada Lebaran 2016, warga melakukan shalat Id berjamaah di lahan terbuka yang tidak berpuing.

"Ya dulu shalat berjamaah di dekat museum (Museum Bahari), pokoknya di jalan yang masih ada coran-nya, paling tadi pagi juga di situ (Shalat Id, red.)," katanya.

Tarmin mengatakan bahwa warga di Kampung Akuarium tetap bisa merayakan Lebaran meskipun hidup di antara puing dan bangunan semipermanen.

Kebersamaan warga di wilayah itu dikatakan Tarmin terasa saat Lebaran.

Tarmin bercerita menjelang Lebaran, ibu-ibu yang masih tinggal di kawasan Kampung Akuarium beramai-ramai mengolah penganan untuk dinikmati bersama oleh warga saat hari raya.

"Biasanya ibu-ibu masak bareng-bareng, biarpun cuma semacam atau dua macam makanan yang penting bisa makan ketupat ramai-ramai," kata Tarmin.

Ketupat, opor ayam, sayur nangka, atau sayur labu, adalah hidangan yang disajikan untuk dimakan bersama usai shalat Id.

Masih Bertahan
Tarmin bercerita terpaksa pindah ke rumah susun Marunda, karena pekerjaannya sebagai penjahit membutuhkan pasokan listrik yang stabil untuk menghidupkan mesin jahitnya.

"Di sini kan suka tiba-tiba mati listriknya," katanya.

Berbeda dengan Tarmin, Efendi (58) masih bertahan di Kampung Akuarium dengan gubuk berukuran kira-kira 20 meter persegi yang dia bangun di atas bekas rumahnya dahulu.

Tempat tinggal Efendi dan empat anggota keluarganya kini hanyalah berupa papan kayu dengan atap terpal biru.

"Saya memang dapat jatah di rumah susun, tapi masa rumah permanen diganti rumah susun yang harus bayar tiap bulan," katanya.

Efendi mengaku enggan membayar sewa Rp500 ribu setiap bulan untuk bisa tinggal di rumah susun.

"Nggak apa Lebaran di rumah bedeng, yang penting rumah sendiri bukan menyewa," kata Efendi yang memiliki rencana untuk pulang ke kampung halamannya di Banten pada Lebaran hari kedua.

Dia dan keluarganya sempat menempati rumah susun Marunda, namun memilih untuk kembali ke Kampung Akuarium meskipun harus tinggal di bangunan semipermanen.

Kondisi tempat tinggal yang terbatas tentu juga memengaruhi pasokan air bersih.

Efendi mengatakan tidak jarang dia dan istrinya terpaksa membeli air bersih yang dijajakan dengan gerobak demi mendapatkan air bersih layak minum.

"Kalau di sini airnya kan bisa dilihat sendiri, paling bisa buat mandi sama nyuci juga sudah bagus," katanya.