London (ANTARA News) - Indonesia mendorong kerja sama internasional di bidang keantariksaan di antaranya berupa pertukaran tenaga ahli, "capacity building" maupun pelatihan program pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyat.

Hal itu disampaikan Dubes RI di Wina, Dr Darmansjah Djumala selaku Wakil Tetap RI yang terakreditasi pada PBB di Wina, demikian keterangan KBRI Wina yang diterima Antara, Rabu (14/6).

Disebutkan bahwa kerja sama internasional yang bersifat inklusif dan berkelanjutan dalam kegiatan keantariksaan penting untuk terus didorong dan dikembangkan.

Hal tersebut akan mendukung peningkatan kapasitas nasional di bidang keantariksaan yang semakin maju dan berkembang cepat dewasa ini.

Indonesia mengirim delegasi pada "United Nations Office for Outer Space Affairs" (UNOOSA) dalam Sidang ke-60 Komite PBB bagi Penggunaan Antariksa untuk Tujuan Damai (The United Nations Committee on The Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) di Wina, Austria, 7-16 Juni 2017.

Pada pertemuan tersebut delegasi RI dipimpin Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Prof Dr Thomas Djamaluddin.

Pada sesi debat umum, Ketua Delegasi RI menyampaikan pernyataan nasional yang menekankan pentingnya kerja sama internasional yang inklusif dan berkelanjutan tersebut untuk mendukung peningkatan kapasitas di bidang teknologi keantariksaan, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara berkembang.

Di forum PBB tersebut, Indonesia menyampaikan pula mengenai perlunya pengaturan kegiatan keantariksaan, khususnya yang terkait dengan dua aspek utama, yaitu isu definisi dan delimitasi antariksa serta isu pemanfaatan "geostationary orbit" (GSO) secara adil dan tetap mengutamakan penghormatan atas kedaulatan dan integritas negara.

GSO perlu diatur dalam suatu rezim hukum khusus, namun tetap memperhatikan kepentingan negara khususnya negara berkembang dan negara dengan letak geografi khusus, seperti negara-negara yang berada di kawasan garis khatulistiwa.

Indonesia berkepentingan terhadap pengaturan yang adil mengenai pemanfaatan GSO ini mengingat letak Indonesia sebagai salah satu negara yang berada di garis khatulistiwa.

Karena itu, peningkatan kapasitas dan pelatihan bagi para ahli keantariksaan menjadi amat penting bagi Indonesia melalui kerangka kerja sama internasional yang inklusif dan berkelanjutan guna dapat mengambil dan mengelola secara maksimal manfaat dari posisi strategis Indonesia tersebut, ujar Dubes Djumala.

Selain itu, Indonesia berpandangan bahwa kesepakatan negara-negara mengenai definisi dan delimitasi antariksa merupakan salah satu agenda prioritas yang perlu didorong melalui forum UNCOPUOS, sehingga dasar hukum untuk pengaturan wilayah kedaulatan antariksa dapat ditetapkan.

Hal ini akan mendukung Rencana Induk Keantariksaan 2016-2040 yang baru-baru ini disahkan melalui Keppres Nomor 45 Tahun 2017 dan telah menjadi pijakan kuat bagi LAPAN dalam penyelenggaraan aktivitas keantariksaan.

Pertemuan ke-60 UNCOPUOS dipimpin Mr David Kendall (Kanada) dan dihadiri lebih dari 200 delegasi negara-negara anggota dan peninjau pada UNCOPUOS.

Pada pertemuan sesi ke-60 ini dilakukan pula serangkaian pertemuan untuk melanjutkan pembahasan pedoman kegiatan keantarikasaan secara berkelanjutan (draft guidelines on long terms sustainability of outer space activites/LTS) yang diharapkan dapat segera disepakati.

UNCOPUOS dibentuk tahun 1959 sebagai forum multilateral dalam mendorong penelitian, pertukaran informasi serta perkembangan iptek dan hukum internasional di bidang keantariksaan. UNCOPUOS pada saat ini beranggotakan 84 negara anggota PBB.

Indonesia telah menjadi anggota pada forum tersebut sejak tahun 1973 dan senantiasa aktif antara lain dengan menyuarakan perlunya dorongan pengembangan kapasitas melalui bantuan teknis bagi negara-negara berkembang guna menjembatani jurang teknologi keantariksaan antara negara maju dan negara berkembang.

(T.H-ZG/S023)