Mahfud sebut pembentukan pansus hak angket tidak strategis
14 Juni 2017 17:17 WIB
Perwakilan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (kiri) menyampaikan keterangan pers didampingi Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan) di Jakarta, Rabu (14/6/2017). Kedatangan perwakilan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara tersebut dimaksudkan untuk menyampaikan hasil kajian dan pernyataan sikap para pengajar hukum tata negara terkait dengan hak angket DPR. (ANTARA /M Agung Rajasa)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum DPP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (HTN-HAN) Mahfud MD mengatakan pembentukan Panitia Khusus Hak Angket KPK di DPR RI bukan hal yang strategis.
"Di dalam Undang-Undang itu disebutkan materi hak angket itu menyangkut satu hal penting bukan masalah rutin, kedua hal strategis, dan yang ketiga mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat," kata Mahfud saat konferensi pers di gedung KPK, di Jakarta, Rabu.
Menurut Mahfud, kesaksian mantan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis (23/3 yang mengaku ditekan penyidik adalah hal biasa.
"Itu kan hal biasa tidak ada hal yang gawat di situ dan itu kan juga sudah dibuktikan dalam sidang praperadilan sudah benar, ini kan tidak ada strategisnya juga dan tidak berpengaruh luas terhadap masyarakat. Ini masalah biasa saja masyarakat menganggap pemeriksaan Miryam itu biasa," tuturnya.
Mahfud juga menyatakan jika DPR berpikir pembentukan Pansus Hak Angket itu bukan hanya soal Miryam S Haryani tetapi ada soal lain itu, maka itu tidak diperbolehkan,
"Hak angket itu harus fokus apa yang mau diangket kalau nanti masalahnya mau dicari oleh Pansus itu tidak boleh, tidak "fair" secara hukum," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Dalam konferensi pers itu juga dihadiri Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dan pakar hukum Universitas Andalas Padang Yuliandri.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel.
"Di dalam Undang-Undang itu disebutkan materi hak angket itu menyangkut satu hal penting bukan masalah rutin, kedua hal strategis, dan yang ketiga mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat," kata Mahfud saat konferensi pers di gedung KPK, di Jakarta, Rabu.
Menurut Mahfud, kesaksian mantan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis (23/3 yang mengaku ditekan penyidik adalah hal biasa.
"Itu kan hal biasa tidak ada hal yang gawat di situ dan itu kan juga sudah dibuktikan dalam sidang praperadilan sudah benar, ini kan tidak ada strategisnya juga dan tidak berpengaruh luas terhadap masyarakat. Ini masalah biasa saja masyarakat menganggap pemeriksaan Miryam itu biasa," tuturnya.
Mahfud juga menyatakan jika DPR berpikir pembentukan Pansus Hak Angket itu bukan hanya soal Miryam S Haryani tetapi ada soal lain itu, maka itu tidak diperbolehkan,
"Hak angket itu harus fokus apa yang mau diangket kalau nanti masalahnya mau dicari oleh Pansus itu tidak boleh, tidak "fair" secara hukum," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Dalam konferensi pers itu juga dihadiri Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dan pakar hukum Universitas Andalas Padang Yuliandri.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017
Tags: