Bentara Budaya Bali tampilkan ragam seni akulturasi
9 Juni 2017 06:36 WIB
Konser Gamelan Bali Sejumlah seniman sanggar Cenik Wayah menampilkan komposisi musik gamelan Bali saat konser gamelan bertajuk New Music for Gamelan di Bentara Budaya Bali, Minggu (25/10/2016) malam. Konser yang menyuguhkan karya terbaru komposer Bali bereputasi internasional, Wayan Sudirana dan Wayan Gde Yudane tersebut secara khusus akan me-reinterpretasi dan re-formasi kesenian Barong yang selama ini ada di Pulau Bali. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf) ()
Denpasar (ANTARA News) - Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar menggelar program Bali Tempo Doeloe (BTD) yang kali ini secara khusus menampilkan tajuk Ragam Seni Akulturasi.
"Kegiatan seni tersebut diisi dengan dialog yang mengulas ragam seni akulturasi beserta proses yang panjang di Pulau Dewata," kata Penata Acara tersebut Juwitta K. Lasut di Denpasar, Jumat.
Ia mengatakan, kegiatan yang melibatkan seniman, budayawan, pelajar, mahasiswa dan masyarakat pencinta seni itu akan berlangsung Sabtu malam (10/6).
Dialog seni tersebut dinilai sangat penting, karena masyarakat Bali telah mengalami transformasi yang panjang dari budaya agraris komunal yang guyub dan hangat menuju masyarakat modern yang berbasis industri pariwisata dengan kecenderungan individual.
Oleh sebab itu banyak seniman Bali melakukan respon kreatif atas fenomena tersebut dari era klasik hingga modern dan kontemporer belakangan ini.
"Pergulatan mereka merefleksikan proses lintas budaya (trans-culture) serta silang budaya yang mempertautkan nilai-nilai warisan leluhurnya (tradisi) dengan nilai-nilai budaya lain," ujar Juwitta K. Lasut.
Ia menjelaskan, berbagai capaian yang bersifat asimilasi tersebut terlihat pada beberapa karya-karya seniman masa kini, di mana mereka mengandalkan adanya pertemuan berbagai kultural.
Selain itu, karya tersebut menghasilkan sesuatu yang baru dengan unsur dasar yang dianggap telah luluh. Pada sisi lain, sebagian karyanya membuahkan nilai-nilai baru yang akulturatif, dengan unsur-unsur yang dapat dilacak ke asal muasalnya.
Juwitta K. Lasut menambahkan, layak pula dicatat pengaruh seniman-seniman asing yang datang belakangan di era Hindia Belanda yang mendorong olah cipta bersifat akulturatif.
Seniman asing tersebut antara lain Walter Spies, warga negara Jerman, Rudolf Bonnet (Belanda), Antonio Blanco (Spanyol), Andrien Jean Le Mayeur (Belgia) dan Adrianus Wilhelmus Smit (Belanda).
Pada dialog BTD sebelumnya mengemuka tentang Peradaban Pesisir Bali Utara dengan tinggalan-tinggalan historis yang bersifat akulturatif, timbang pandang kali ini mendialogkan mengenai pengaruh unsur-unsur budaya China dan budaya lain yang mewarnai proses transformasi budaya dan ragam seni yang berkembang di Bali.
Misalnya keberadaan Baris China di Sanur dengan kostum dan ornamentiknya yang unik, seni barong di Singapadu, termasuk berbagai ragam arsitektur dan seni ukir Bali yang mendapat pengaruh asing seperti Meru yang diperkirakan mendapat pengaruh arsitektur China.
Demikian pula seni ukir dengan pola sulur atau tumbuhan dengan batang yang merambat disebut patra China juga dianggap sebagai pengaruh budaya China.
Selain dialog, acara tersebut juga dimaknai dengan pemutaran film dokumenter Bali 1928 yang didukung oleh STMIK STIKOM Bali dan Arbiter Cultural Traditions.
Bertindak sebagai pembicara Dr. I Gede Mudana, M.Si, Kepala Unit Publikasi Ilmiah Politeknik Negeri Bali yang juga Dosen Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali dan Pascasarjana Universitas Udayana serta Pascasarjana ISI Denpasar.
"Kegiatan seni tersebut diisi dengan dialog yang mengulas ragam seni akulturasi beserta proses yang panjang di Pulau Dewata," kata Penata Acara tersebut Juwitta K. Lasut di Denpasar, Jumat.
Ia mengatakan, kegiatan yang melibatkan seniman, budayawan, pelajar, mahasiswa dan masyarakat pencinta seni itu akan berlangsung Sabtu malam (10/6).
Dialog seni tersebut dinilai sangat penting, karena masyarakat Bali telah mengalami transformasi yang panjang dari budaya agraris komunal yang guyub dan hangat menuju masyarakat modern yang berbasis industri pariwisata dengan kecenderungan individual.
Oleh sebab itu banyak seniman Bali melakukan respon kreatif atas fenomena tersebut dari era klasik hingga modern dan kontemporer belakangan ini.
"Pergulatan mereka merefleksikan proses lintas budaya (trans-culture) serta silang budaya yang mempertautkan nilai-nilai warisan leluhurnya (tradisi) dengan nilai-nilai budaya lain," ujar Juwitta K. Lasut.
Ia menjelaskan, berbagai capaian yang bersifat asimilasi tersebut terlihat pada beberapa karya-karya seniman masa kini, di mana mereka mengandalkan adanya pertemuan berbagai kultural.
Selain itu, karya tersebut menghasilkan sesuatu yang baru dengan unsur dasar yang dianggap telah luluh. Pada sisi lain, sebagian karyanya membuahkan nilai-nilai baru yang akulturatif, dengan unsur-unsur yang dapat dilacak ke asal muasalnya.
Juwitta K. Lasut menambahkan, layak pula dicatat pengaruh seniman-seniman asing yang datang belakangan di era Hindia Belanda yang mendorong olah cipta bersifat akulturatif.
Seniman asing tersebut antara lain Walter Spies, warga negara Jerman, Rudolf Bonnet (Belanda), Antonio Blanco (Spanyol), Andrien Jean Le Mayeur (Belgia) dan Adrianus Wilhelmus Smit (Belanda).
Pada dialog BTD sebelumnya mengemuka tentang Peradaban Pesisir Bali Utara dengan tinggalan-tinggalan historis yang bersifat akulturatif, timbang pandang kali ini mendialogkan mengenai pengaruh unsur-unsur budaya China dan budaya lain yang mewarnai proses transformasi budaya dan ragam seni yang berkembang di Bali.
Misalnya keberadaan Baris China di Sanur dengan kostum dan ornamentiknya yang unik, seni barong di Singapadu, termasuk berbagai ragam arsitektur dan seni ukir Bali yang mendapat pengaruh asing seperti Meru yang diperkirakan mendapat pengaruh arsitektur China.
Demikian pula seni ukir dengan pola sulur atau tumbuhan dengan batang yang merambat disebut patra China juga dianggap sebagai pengaruh budaya China.
Selain dialog, acara tersebut juga dimaknai dengan pemutaran film dokumenter Bali 1928 yang didukung oleh STMIK STIKOM Bali dan Arbiter Cultural Traditions.
Bertindak sebagai pembicara Dr. I Gede Mudana, M.Si, Kepala Unit Publikasi Ilmiah Politeknik Negeri Bali yang juga Dosen Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali dan Pascasarjana Universitas Udayana serta Pascasarjana ISI Denpasar.
Pewarta: IK Sutika
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017
Tags: