Jakarta, 6/6 (Antara) - Pengasingan diplomatik Qatar oleh sejumlah negara Arab adalah buah dari politik luar negeri dua kaki yang dimainkan keluarga At-Thani selama puluhan tahun, terutama sejak Hamad bin Khalifa mengkudeta ayah kandungnya sendiri pada tahun 1995.

Di satu sisi, Qatar di bawah kepemimpinan Hamad, dan kini dilanjutkan oleh anaknya Tamim, mencitrakan diri sebagai negara reformis yang melampaui konservatisme tetangga Arab lainnya. Namun, mereka pada saat yang bersamaan menyebar ujaran kebencian dan mendanai terorisme yang mengguncang kawasan.

Dualisme ini membuat empat negara tetangganya Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain memutus hubungan diplomatik dengan Doha dua hari lalu.

Qatar tidak main-main dalam membangun citra reformis. Pada tahun 2003, Hamad menggelar referendum konstitusi untuk pertama kalinya sejak merdeka dari Inggris.

Di bawah kepemimpinan sang Emir ini, perempuan mendapatkan hak untuk memilih meski hanya untuk dewan kota yang tidak punya kewenangan eksekutif.

Mereka juga berupaya menjadi negara modern untuk menghindari ketergantungan pada minyak, dengan fokus pada sektor pariwisata dan perbankan.

Qatar punya pencapaian besar dalam bidang pariwisata dengan terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.

Namun proyek pencitraan paling ambisius dari Doha tentu saja adalah pembentukan jaringan media Al Jazeera. Media ini didirikan pada 1996 atau tepat satu tahun setelah kudeta dan menjadi bagian penting dari pemerintahan keluarga Thani.

Beberapa tahun kemudian mereka berekspansi dan mulai menyiarkan berita dalam bahasa Inggris ke seluruh penjuru dunia.

Al Jazeera menjadi media yang disegani terutama setelah munculnya gelombang revolusi Kebangkitan Dunia Arab tahun 2010.

Banyak tokoh politik dunia memuji pemberitaan media tersebut. Mantan menteri luar negeri Amerika Serikat Hillary Clinton mengatakan bahwa media-media di Barat seharusnya malu terhadap al Jazeera. Mereka melaporkan berita sebenarnya.

"Al Jazeera merepresentasikan harapan kelas elit berwawasan internasional dengan gambar-gambar mengagumkan, dan laporan deskripsi yang dalam mengenai perkembangan di puluhan negara secara bersamaan," tulis pengamat politik Robert D. Kaplan di The Atlantic.

Reuters pernah menyebut Al Jazeera sebagai "pembela kaum terpinggirkan" dalam pemberitaan Kebangkitan Dunia Arab, terutama di Mesir, di mana media tersebut cenderung bias terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin dan mantan presiden Mohammad Moursi yang memang terpilih secara demokratis.

Di sisi lain, Al Jazeera juga tidak ragu mengkritik kebijakan konservatif dari negara-negara Teluk lain seperti Arab Saudi yang dinilai membatasi kebebasan terhadap kelompok minoritas dan perempuan.

Inilah wajah Qatar yang ingin ditampilkan kepada dunia melalui stasiun televisi dan jaringan media daring mereka yakni prodemokrasi dan terbuka terhadap perubahan.

Aktivisme politik luar negeri Qatar di Timur Tengah ini menciptakan pedang bermata dua. Meski di satu sisi dipuji kalangan Barat sebagai promotor demokrasi dan revolusi kerakyatan, Al Jazeera, sebagai kepanjangan tangan "soft power" keluarga Thani, juga dinilai sejumlah rezim Arab sebagai senjata politik Doha untuk menciptakan kerusuhan, demikian catatan The Huffington Post.

Tudingan itu muncul karena Al Jazeera dan pemerintahan Qatar sangat dekat dengan kelompok yang sangat dibenci oleh beberapa pemerintahan Teluk seperti Mesir dan Uni Emirat Arab yakni Ikhwanul Muslimin.

Banyak tokoh-tokoh organisasi tersebut yang mendapat panggung di Al Jazeera, salah satunya adalah Yusuf Al Qaradawi, seorang ulama Ikhwanul Muslimin yang pernah memuji aksi bom bunuh diri di Palestina.

Ada sejarah panjang konfrontasi antara Ikhwanul Muslimin dengan negara-negara Arab. Sejak tokoh nasionalis Gamal Abdul Nasir berkuasa di Mesir tahun 1950-an, para tokoh kelompok itu terusir dan menyebar ke beberapa negara seperti Uni Emirat Arab dan Qatar yang saat itu masih sama-sama dijajah.

Setelah Uni Emirat Arab merdeka, banyak tokoh Ikhwanul Muslimin yang menduduki posisi penting pemerintahan dan punya pengaruh besar di bidang pendidikan dan hukum, tulis Giorgio Cafiero, kepala Gulf State Analytics, perusahaan konsultan resiko geopolitik yang berkantor di Washington, sebagaimana dikutip dari majalah The National Interest.

Para emir di Abu Dhabi kemudian khawatir atas aktivisme mereka dan pada akhirnya membubarkan LSM bentukan Ikhwanul Muslimin, Al Islah.

Hubungan Abu Dhabi dan Kairo juga sempat memanas saat kelompok yang sama memenangi pemilu demokratis pertama di Mesir tahun 2011, dan kembali normal pascakudeta berdarah Jenderal Abdul Fatah as-Sisi.

Di tengah antagonisme para tetangganya dengan Ikhwanul Muslimin, pemerintahan Doha justru memilih untuk memperparah situasi dengan aktif mendukung gerakan yang sama di Libya dan Mesir pada awal masa kudeta 2014.

Di Libya, Qatar secara terbuka mendukung pemerintahan koalisi bentukan Ikhwanul Muslimin yang tidak diakui oleh PBB. Sementara Uni Emirat Arab diam-diam menyuplai senjata untuk faksi rival di negara yang sama--sebuah tindakan yang juga menyalahi embargo PBB.

Inilah salah satu alasan kenapa Uni Emirat Arab menuding Doha telah mendanai terorisme--sebuah konsep yang menjadi kabur di Timur Tengah karena bisa dialamatkan kepada siapa saja yang dianggap membahayakan suatu rezim.



Wajah Ganda

Hal lain yang jadi sumber perpecahan Qatar dan negara-negara Teluk adalah wajah ganda Al Jazeera yang punya dua versi, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Meski sama-sama dimiliki oleh pemerintah, keduanya punya manajemen dan sikap editorial yang bertolak belakang.

Saat versi bahasa Inggris dipuji karena pemberitaan yang relatif berimbang, versi bahasa Arab dari media yang sama mendapat kritik tajam karena dianggap menyebar ujaran kebencian dan terlalu banyak memberi panggung kepada kelompok yang secara konsesus, oleh dunia internasional, dicap sebagai teroris.

Pakar media Fouad Najami, dalam tulisannya untuk The New York Times Magazine, mengatakan bahwa mantan pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden, adalah "bintang" bagi Al Jazeera berbahasa Arab yang merupakan stasiun televisi paling populer di Timur Tengah.

Bin Laden adalah "ksatria pemberani dari dunia Arab" bagi Al Jazeera, tulis Najami.

Sebagai stasiun televisi yang mempunyai pemirsa lebih dari 30 juta orang, Al Jazeera versi bahasa Arab juga sering digunakan oleh pemerintah Qatar untuk memperoleh konsesi politik dari negara-negara tetangganya.

Wikileaks beberapa tahun lalu membocorkan sebuah dokumen yang menyatakan bahwa Doha sering menawarkan pemberitaan yang lebih bersahabat bagi keluarga kerajaan Arab Saudi untuk memfasilitasi rekonsiliasi politik kedua negara.

Al Jazeera "terbukti menjadi alat yang berguna bagi tuan besar stasiun televisi itu," kata dokumen Kedutaan Amerika Serikat di Doha yang dibocorkan oleh Wikileaks.

Politik media dari Qatar kemudian membuat Arab Saudi kehilangan kesabaran dan akhirnya menutup kantor cabang Al Jazeera di Riyadh bersamaan dengan pemutusan hubungan diplomatik.

Di Mesir, yang juga memutus hubungan diplomatik dengan Doha, Al Jazeera berbahasa Arab juga tidak kalah bermasalah. Pemerintahan Jenderal As Sisi menangkapi wartawan media itu sejak tahun 2013 karena dianggap melindungi tokoh-tokoh "teroris".

Salah satu tokoh "teroris" itu adalah Esam Abdul Majid, seorang anggota kelompok garis keras Jamaah al Islamiyyah yang menjadi buron karena menyebar ujaran kebencian dan meminta pengikutnya untuk melakukan pembunuhan.

Pemerintah Mesir sejak awal tahun 2013 sudah meminta Interpol untuk membantu menangkap Majid. Namun dia tiba-tiba muncul di Doha pada Desember tahun yang sama untuk melakukan wawancara dengan Al Jazeera di mana dia menuding pemerintahan As Sisi terlalu memberi tempat bagi "kelompok agama minoritas," demikian catatan majalah Foreign Policy.

Persoalan terorisme ini juga menjadi salah satu titik pangkal perseteruan diplomatik Qatar dengan koalisi Teluk--tuduhan yang terasa ironis mengingat Arab Saudi juga diduga menjadi sumber pendanaan aksi teror meski dilakukan oleh aktor non-negara.

Aktivisme politik luar negeri dua kaki Qatar kini memasuki babak baru dengan terkucilnya Doha.

Masih menarik untuk menunggu konsesi politik apa yang akan tercapai mengingat kedua kubu relatif punya kekuatan yang berimbang. Di satu sisi, Qatar punya "soft power" besar bernama Al Jazeera dan bisa mengendalikan milisi-milisi yang dibenci para rezim Arab. Sementara negara-negara Teluk punya kekuatan militer signifikan lengkap dengan dukungan Amerika Serikat.