Kriminolog: terorisme atas nama agama ancaman nyata
6 Juni 2017 21:24 WIB
Aksi Bela Ulama. Massa dari berbagai organisasi Islam berdoa usai melakukan Salat Ashar bersama pada "Aksi Bela Ulama" di depan Gedung Sate Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/6/2017). Aksi yang digagas Aliansi Pergerakan Islam (API) Jabar menuntut pemerintah menghentikan kriminalisasi ulama dan pembubaran ormas Islam. (ANTARA/Agus Bebeng)
Jakarta (ANTARA News) - Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Mohammad Kemal Dermawan menegaskan bahwa terorisme mengatasnamakan agama merupakan ancaman nyata yang membutuhkan perhatian bersama.
"Masalah ini tidak bisa diserahkan ke pemerintah saja, dalam hal ini BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Red)," kata Kemal di Jakarta, Selasa.
Mengingat kelompok radikal ini menggunakan agama sebagai dasar pembenar tindakan mereka maka ulama dan guru agama harus mengimbangi dengan mengajarkan nilai-nilai agama yang benar.
"Kiai, ulama, dan guru agama harus terus menebarkan pesan damai untuk meng-counter radikalisme dan sebagainya, bukan malah berbicara yang justru menambah kisruh," kata dia.
Aparat penegak hukum juga harus memperbanyak sosialisasi kepada masyarakat agar mereka tahu pendapat dan tindakan mana yang berpihak kepada hukum dan mana yang berpihak kepada kelompok radikal.
Menurut dia harus ada persepsi yang benar mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) karena tak jarang atas nama HAM orang merasa berhak berbicara apa saja.
"Tidak sembarang pendapat yang harus dilindungi. Kalau pendapatnya menghasut, radikal, subversif ya harus ditindak," ujar staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI ini.
Di sisi lain, menurut dia, nilai-nilai kebangsaan, yaitu Pancasila dan nilai sosial Bhinneka Tunggal Ika harus diperkuat, toleransi harus terus ditanamkan dan dikembangkan sejak dini di sekolah.
Ia mengatakan anak didik harus diberi contoh toleransi antarsesama dengan berbagai perbedaan suku, agama, ras, dan budaya agar ada rasa saling melindungi antarsesama manusia dan agar bangsa Indonesia tak mudah dipecah belah.
"Bulan Ramadan ini menjadi momentum terbaik untuk kembali mengingatkan anak bangsa tentang kekuatan nilai Pancasila dalam menyatukan berbagai keragaman yang ada di Indonesia," kata dia.
"Masalah ini tidak bisa diserahkan ke pemerintah saja, dalam hal ini BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Red)," kata Kemal di Jakarta, Selasa.
Mengingat kelompok radikal ini menggunakan agama sebagai dasar pembenar tindakan mereka maka ulama dan guru agama harus mengimbangi dengan mengajarkan nilai-nilai agama yang benar.
"Kiai, ulama, dan guru agama harus terus menebarkan pesan damai untuk meng-counter radikalisme dan sebagainya, bukan malah berbicara yang justru menambah kisruh," kata dia.
Aparat penegak hukum juga harus memperbanyak sosialisasi kepada masyarakat agar mereka tahu pendapat dan tindakan mana yang berpihak kepada hukum dan mana yang berpihak kepada kelompok radikal.
Menurut dia harus ada persepsi yang benar mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) karena tak jarang atas nama HAM orang merasa berhak berbicara apa saja.
"Tidak sembarang pendapat yang harus dilindungi. Kalau pendapatnya menghasut, radikal, subversif ya harus ditindak," ujar staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI ini.
Di sisi lain, menurut dia, nilai-nilai kebangsaan, yaitu Pancasila dan nilai sosial Bhinneka Tunggal Ika harus diperkuat, toleransi harus terus ditanamkan dan dikembangkan sejak dini di sekolah.
Ia mengatakan anak didik harus diberi contoh toleransi antarsesama dengan berbagai perbedaan suku, agama, ras, dan budaya agar ada rasa saling melindungi antarsesama manusia dan agar bangsa Indonesia tak mudah dipecah belah.
"Bulan Ramadan ini menjadi momentum terbaik untuk kembali mengingatkan anak bangsa tentang kekuatan nilai Pancasila dalam menyatukan berbagai keragaman yang ada di Indonesia," kata dia.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017
Tags: