Oleh Teguh Imam Wibowo Pontianak (ANTARA News) - Luas lahan kritis di Kalimantan Barat saat ini mencapai lima juta hektar atau lebih dari sepertiga total wilayah Kalbar. Seandainya seluruh lahan kritis itu dikonversi menjadi lapangan sepakbola, akan ada lebih dari 6 juta lapangan sepakbola baru ukuran standar internasional. "Mungkin akan dihasilkan ribuan pesepakbola handal di Tanah Air," kata Pastor Samuel Oton Sidin dari Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum (OFM Cap) Bagi Pastor Sidin, lahan kritis yang tersebar di bekas pembalakan liar dan penambangan emas tanpa izin itu, bukan hal yang dapat diabaikan. Upaya konservasi menjadi mutlak demi kehidupan anak-cucu yang lebih baik. Doktor Teologi Spiritualitas Fransiskan, Universitas Antonianum Roma, Italia itu sangat tersiksa melihat kerusakan lahan dan hutan yang terjadi di Kalbar. Oleh karena itu, sekuat tenaga ia melakukan konservasi, meski bagai setitik dalam luasan lahan yang rusak. "Tuhan telah memberikan alam kepada umat manusia. Alam itu rumah kita. Kalau tidak bisa memeliharanya, maka rumah itu akan rusak," kata Pastor Samuel. Dengan semangat tersebut, keinginan mengembalikan alam mulai diwujudkan, saat ia menjabat sebagai Kepala Provinsialat Ordo Kapusin di Kalimantan mulai 1997-2003. Berdasarkan persetujuan Ordo, pada akhir 2000, dibeli lahan sekitar 70 hektar di Dusun Gunung Benua, Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak. Letaknya di kilometer 60 jalan tembus Pontianak - Tayan (Kabupaten Sanggau), tepatnya di Bukit Tunggal, dengan tekstur perbukitan dan rawa-rawa (dataran rendah). Pertimbangan lain, tidak adanya Komunitas Capusin antara Pontianak - Tayan. Lokasi yang strategis itu diharapkan pula menjadi tempat persinggahan bagi yang ingin melepas lelah baik dari kalangan pasturan maupun masyarakat umum. Pada saat dibeli dari masyarakat setempat, sebagian lahan di perbukitan dan rawa-rawa merupakan sisa kebakaran lahan. Lahan berkategori kritis itu, hampir tanpa pohon, karena telah ditebangi masyarakat. Secara perlahan, Pastor Samuel mulai melakukan penanaman kembali lahan yang terbakar. Pesan perdamaian Rumah Pelangi Komunitas OFM Cap Bukit Tunggal, begitulah Pastor Samuel menamai wilayah konservasi itu. Rumah Pelangi mengambil dari kisah Nabi Nuh. Setelah bencana datang menimpa manusia di zaman Nabi Nuh, muncul pelangi di angkasa. "Pelangi membawa pesan untuk menciptakan dan menebarkan kedamaian. Itu yang ingin kami sampaikan," kata Pastor Samuel. Ia mengakui, upaya konservasi yang dilakukannya terbilang terlambat karena sebagian besar alam Kalbar sudah rusak. Keanekaragaman hayati sebagai kekayaan alam yang tersimpan di bumi khatulistiwa, turut lenyap dengan musnahnya hutan. Di ruas jalan tembus Pontianak - Tayan, kegiatan penebangan kayu untuk dijadikan cerucuk terlihat dari puluhan tempat penampungan, lori (jalan serupa rel untuk mengangkut kayu dari hutan ke tepi jalan raya-red), dan lima "sawmill" mini yang tersebar sepanjang sekitar 16 kilometer. Di kilometer 44 - 51 misalnya, terdapat 40 jalur lori dan lima sawmill serta puluhan tumpukan kayu cerucuk berbagai ukuran. Kemudian di kilometr 56, terdapat tiga jalur lori. Sepanjang perjalanan dari arah Pontianak menuju Gunung Benuah, terlihat sedikitnya lima truk yang mengangkut cerucuk ke arah berlawanan. Sedangkan dalam rute sebaliknya, sedikitnya terlihat tiga truk yang menuju Pontianak. Upaya Pastor Samuel agar masyarakat tidak lagi melakukan penebangan secara membabi-buta juga kerap disampaikan saat kebaktian ketika ia menyampaikan khotbah di gereja. "Meski sedikit, setidaknya apa yang kami lakukan menjadi contoh bagi yang lain dan dapat dilihat banyak orang," ujar biarawan kelahiran Kampung Peranuk, Kecamatan Teriak, Kabupaten Bengkayang, 12 Desember 1954 itu. Secara bertahap, hingga tahun 2005, Rumah Pelangi telah bertambah menjadi 20 hektar. Sejak tiga tahun terakhir, Ordo juga telah mendukung penuh upaya konservasi Pastor Samuel sehingga menjadi kegiatan Ordo. Rumah Pelangi lalu terus dibangun dan kini terdiri atas sebuah rumah sederhana dua lantai yang terbuat dari kayu dilengkapi tempat untuk berdoa. Puluhan atau ratusan seminari dari berbagai kota telah menginap di Rumah Pelangi. Tanaman khas Pengalaman masa kecil di daerah yang dikelilingi hutan membuat Pastor Samuel ingin mengembalikan kenangan saat di kampung halaman. Beragam jenis tanaman khas Kalimantan yang mungkin jarang diketahui orang di perkotaan, secara bertahap ia tanam. Sebut saja buah hutan seperti langsat, rambutan, nangka, mangga, durian, bambu maupun tanaman hutan. "Langsat selama ini hanya dikenal dari Punggur. Padahal, bagi orang-orang di hutan, langsat memiliki beragam jenis seperti langsat susu dan rantap. Begitu juga durian, mangga, dan rambutan," ujarnya. Sedangkan tanaman hutan yang ia tanam seperti belian atau ulin, tengkawang, benuah, sangon, mahoni dan tapang. Menurut Pastor Samuel, tidak semua pohon yang ia tanam memiliki nilai ekonomis. "Selama ini masyarakat cenderung untuk memusnahkan tanaman yang tidak ekonomis. Padahal, masyarakat maupun generasi berikutnya perlu mengetahui keanekaragaman tanaman di Kalimantan baik bersifat ekonomis atau tidak," katanya. Ia juga memelihara sejumlah binatang hutan seperti landak. Burung-burung dibiarkan membuat sarang di pohon tanpa merasa terganggu. Ratusan jenis tanaman yang ia tanam kembali, mungkin puluhan tahun mendatang baru terlihat hasilnya. Meski masyarakat tak acuh terhadap upaya konservasi yang ia lakukan, Samuel tidak patah semangat. Begitu juga ketiadaan dukungan pemerintah meski telah berulang kali ia ajukan proposal agar ada bantuan pendanaan. Bersama tiga rekan yang peduli, secara bertahap dilakukan pembenahan di Bukit Tunggal. Sebuah jalan lingkar dikerjakan secara manual sepanjang dua kilometer mengelilingi Bukit Tunggal. Ia juga membuat sebuah bendungan kecil yang dikerjakan bersama ketiga rekannya serta para peserta seminari dari pasturan sekitar Bukit Tunggal yang berkunjung ke Rumah Pelangi dan diselesaikan selama satu tahun. Dari bendungan, mengalirlah air untuk mengairi sawah dengan luasan kurang dari satu hektar. Bendungan tersebut juga dipenuhi ikan air tawar yang telah setahun lebih ia pelihara. Air dari bendungan selain untuk memenuhi kebutuhan Rumah Pelangi, juga ke masyarakat yang menetap di sisi bawah Bukit Tunggal. Tak banyak yang diharapkan Pastor Samuel dari upaya konservasi yang ia lakukan. "Meski terbilang sia-sia karena masyarakat tidak peduli dan tetap melakukan penebangan hutan, tapi saya punya komitmen sendiri untuk melakukan konservasi alam," ujarnya. Pendidikan ekologi, agar generasi masa mendatang semakin mencintai alam. Rumah Pelangi mungkin bisa menjadi bagian dari pendidikan ilmiah. "Paling tidak, anak-anak masa depan dapat melihat berbagai tanaman langka di daerah ini," ujar Pastor Samuel menambahkan. (*)