Jombang (ANTARA News) - Sebanyak 11 mahasiswa asal Miami Dade College, Florida, Amerika Serikat, berkunjung ke Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Sabtu, guna mempelajari tentang multikulturalisme.
Mereka ditemui oleh sejumlah pengurus Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang. Mereka juga berdialog terkait dengan beragam isu multikulturalisme.
Enrique Sepulvedas, salah satu mahasiswa jurusan ilmu politik di universitas itu sempat bertanya tentang kebijakan perlakuan terhadap yang nonmuslim di Pesantren Tebuireng.
"Apakah Anda menerapkan kebijakan pintu terbuka untuk mereka yang berbeda agama," katanya.
Sementara itu, Joshua Elias, mahasiswa jurusan hubungan internasional juga menanyakan pendapat pengurus Pesantren Tebuireng terhadap aspirasi penegakan syariat Islam di Indonesia.
Marie Geraldine Georges, mahasiswi jurusan antropologi mempertanyakan tentang kesetaraan perempuan dalam ajaran Islam.
"Saya melihat, yang hadir sekarang kok laki-laki semua. Apa memang perempuan tidak boleh berperan di sini?" tanya Maria dengan nada penasaran.
Sementara itu, menjawab seluruh pertanyaan tersebut, Mudir Pesantren Tebuireng Lukman Hakim mengatakan pihaknya sangat terbuka untuk kerja sama yang bersifat lintas etnis dan agama. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, pesantren yang kini diasuh oleh KH Shalahuddin Wahid juga melakukan kerja sama kegiatan dengan berbagai pihak.
Bahkan, di Universitas Hasyim Asyari (Unhasy), terdapat salah satu pejabat di Unit Penjamin Mutu yang beragama Hindu, termasuk dosen di Fakultas Teknologi Informatika yang beragama Katolik.
Mantan Direktur Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng (LSPT) Mohammad Asad menambahkan pendiri Pesantren Tebuireng KH Hasyim Asyari adalah tokoh yang berperan penting dalam memadukan Islam dan nasionalisme melalui doktrin "Cinta Tanah Air adalah bagian dari iman" dan fatwa Resolusi Jihad dalam peperangan melawan penjajah di Tahun 1945.
"Jihad yang dimaksud bukanlah upaya memusuhi barat atau nonmuslim, tapi melawan penjajah kolonial Belanda. Dan inilah salah satu fondasi nasionalisme di Indonesia," katanya.
Asad juga menegaskan, dengan pendapat tersebut sudah jelas tentang pandangan Pesantren Tebuireng terhadap Islam dan kebangsaan, bahwa tetap mengutamakan nasionalisme.
"Kalau hari ini masih ada orang yang memaksakan syariat Islam menjadi dasar negara, atau mendesakkan berdirinya khilafah, maka orang itu mengajak mundur 30 tahun ke belakang," katanya.
Pembantu Rektor II Unhasy Muhsin Kasmin juga menambahkan bahwa perempuan mendapatkan peluang yang sama, sepanjang mempunyai kemampuan yang dipersyaratkan.
"Salah satu sekolah di lingkungan Pesantren Tebuireng bahkan pernah dijabat oleh seorang perempuan selama beberapa periode. Kesempatan serupa juga diberlakukan di Unhasy," ungkapnya menjawab pertanyaan Marie.
Sementara itu, setelah dialog tersebut selesai, di akhir kunjungannya, rombongan mahasiswa yang didampingi Prof Michael Lenaghan itu juga menyempatkan berziarah ke makam mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Di kompleks makam tersebut, mereka juga mendapatkan penjelasan tentang Pesantren Tebuireng dengan segala aktivitasnya, termasuk siapa saja yang dimakamkan di makam kompleks pondok tersebut.
Sebelumnya, sejumlah mahasiswa asal The Kings College, New York, juga datang ke Pesantren Tebuireng, pada pertengahan Mei 2017. Mereka mempelajari sistem pendidikan di Islam dan pesantren di Indonesia, dengan mengambil sampel di Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang.
(T.KR-DHS/M026)
Mahasiswa asal Amerika pelajari multikulturalisme di Tebuireng
3 Juni 2017 19:34 WIB
ilustrasi: Pengasuh Ponpes Tebuireng KH Salahuddin Wahid.(ANTARA FOTO/Syaiful Arif) ()
Pewarta: Destyan Hendri Sujarwoko/ Asmaul Chusna
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017
Tags: